Senin, 24 Desember 2018

Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kau Dustakan



Studi Ekonomi -

Lembaga Amil Zakat (LAZ)

Studi Ekonomi -


  1. Pendahuluan
Secara istilah fiqih zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak (Sudarsono, 2007). Zakat merupkan legitimasi Allah yang tercantum dalam al-Qur’an. Kata zakat sendiri dalam bentuk ma’rifah disebut 30 kali, yang mana 27 kali di antaranya disebutkan dalam satu ayat bersama shalat.
Berdasarkan kesejarahan, zakat diwajibkan pada tahun ke-9 hijriah, sedangkan shadaqoh fitrah pada tahun ke-2 hijriah. Akan tetapi ahli hadits memandang bahwa zakat telah diwajibkan sebelum tahun ke-9 H, ketika Maulana Abdul Hasan berkata zakat  diwajibkan setelah hijrah dan dalam kurun waktu lima tahun setelahnya (Sudarsono, 2007; mengutip Abdul Hasan).
Sebelum diwajibkan, zakat merupakan sumbangan sukarela yang belum ada peraturan khusus atau ketentuan hukumnya. Peraturan itu kemudian hadir seiring dengan kokohnya dasar islam, dan semakin banyaknya orang masuk islam. Peraturan yang disusun tersebut meliputi system pengumpulan zakat, barang-barang yang dikenakan zakat, batas-batas zakat, dan tingkat persentase zakat untuk barang yang berbeda-beda (Sudarsono, 2007).
Pada perkembangannya, masa kehidupan Rasulullah dan khulafaurrasyidin, zakat merupakan sumber pendapatan utama Negara islam. Zakat dimasukkan sebagai perisai utama kebijakan fiscal dalam rangka memecahkan masalah ekonomi secara umum.
Pelaksanaan pemungutan zakat di masa pemerintahan Rasulullah dan Khulafaurrasyidin menjadi bukti arti pentingnya zakat bagi pembangunan Negara. Namun, dengan catatan bahwa pengumpulan zakat tersebut harus dilakukan secara optimal.
Di Indonesia sendiri, usaha untuk mengoptimalkan konsep zakat telah lama dilakukan. Akan tetapi, seiring dengan hal tersebut masih banyak masyarakat, baik dari kalangan muslim, pemerintah, yang menolak urgensi dalam melegalisasikan peraturan zakat tersebut (Sudarsono, 2007).

  1. Lembaga Zakat
Dalam khazanah hukum Islam, yang bertugas mengambil dan yang menjemput zakat adalah para petugas zakat (amil). Menurut Imam Qurthubi, amil adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam/pemerintah) untuk mengambil, menuliskan,  menghitung, dan mencatat atas harta zakat yang diambil dari para muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya (Karim,2009).
Pada masa Rasulullah SAW yang diangkat menjadi amil zakat adalah Baginda Umar bin Khattab ra. Rasulullah SAW juga pernah mempekerjakan seorang pemuda dari Suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim. Beliau juga pernah mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat. Selain Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW juga pernah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, yang di samping bertugas sebagai da’i (mendakwahkan Islam secara umum), juga mempunyai tugas khusus menjadi amil zakat.
Ketika Umar menjadi khalifah, beliau mengangkat Ibnus Sa'dy Al-Maliki sebagai pengumpul zakat. Hal ini diriwayatkan oleh Busr bin Sa'ied dari Ibnus Sa'dy Al-Maliki, yang berkata, ''Umar pernah mengangkat aku untuk mengurus zakat (amil). Ketika usai pekerjaanku dan aku laporkan kepadanya, maka dia kemudian mengirimi aku upah. Maka aku katakan, 'Sungguh, aku melakukan tugas ini karena Allah.' Maka Umar berkata, 'Ambillah apa yang telah diberikan kepadamu. Aku dulu juga pernah menjadi amil Rasulullah SAW, dan beliau memberi upah untuk tugas itu. Ketika aku katakan kepada beliau seperti yang kau katakan tadi, maka Rasulullah SAW berkata, bila engkau diberi sesuatu yang tak kau pinta, maka makanlah dan sedekahkanlah.'” (HR Al-Bukhari dan Muslim), (Karim,2009).
Di Indonesia sejarah kelahiran amil zakat telah digagas sejak 13 abad silam. Sejak cahaya Islam terbit dan menerangi nusantara, sejak itulah semangat masyarakat untuk mengenal, memahami dan mengamalkan Islam muncul. Namun pada perjalanannya praktek pengelolaan zakat tersebut masih bersifat alamiah dan sederhana.
Pada tanggal 24September 1968, sebelas ulama tingkat nasional menyarankan kepada presiden Soeharto untuk membentuk badan pengelolaan zakat tersebut. Pada acara Isra' Mi'raj di Istana Negara, 26 Oktober 1968, Presiden menegaskan kesediaannya menjadi amil tingkat nasional. Seruan tersebut disusul dengan dikeluarkannya surat perintah Presiden No. 07/POIN/10/1968 tanggal 31 Oktober 1968. Isinya, mengamanatkan kepada Mayjen Alamsyah Ratu Prawiranegara, Kol. Inf. Drs. Azwar Hamid dan Kol. Inf. Ali Afandi untuk membantu Presiden dalam proses administrasi dan tata usaha penerimaan zakat secara nasional. Seruan Presiden ini ditindaklanjuti oleh Gubernur DKI Jakarta dengan mendirikan Bazis DKI. Juga Bazis- Bazis daerah oleh kepala daerah masing-masing. Selanjutnya, untuk lebih menguatkan dan mengembangkan keberadaan lembaga pengelola zakat, akhirnya dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 16 tahun 1989 tentang Pembinaan Zakat dan Infak/Sedekah. Selanjutnya dikukuhkan dengan Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 1991. (mengutip Karim, 2009).
Perkembangan selanjutnya, setelah jatuhnya rezim Soeharto, dan dimulainya era pemerintahan Habibie, dengan didukung oleh masyarakat maka Habibie memerintahkan untuk membuat undang-undang pengelolaan zakat. Sebagai hasil dari perintah itu lahirlah Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dan sejak itulah legalitas lembaga amil zakat diakui undang-undang.
Pada BAB III pasal 6 dan 7 menyatakan bahwa lembaga pengelola zakat di Indonesia terdiri atas dua kelompok institusi, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Yang mana BAZ merupakan badan yang dibentuk pemerintah sedangkan LAZ dibentuk oleh masyarakat.
1.      Badan Amil Zakat
       Badan Amil Zakat adalah badan tertinggi pengelola zakat yang terdiri atas dewan pertimbangan, komisi pengawas dan badan pelaksana. Ketiga unsure tersebut masing-masing memiliki fungsi, yaitu: (1) dewan pertimbangan berfungsi untuk memberikan pertimbangan, fatwa, saran dan rekomendasi kepada badan pengelola dan komisi pengawas dalam pengelolaan Badan Amil Zakat yang meluputi aspek syariah dan aspek manajerial.
       Adapun (2) komisi pengawa merupakan pengawas internal lembaga atas operasional kegiatan yang dilaksanakan badan pelaksana. Sedangkan (3) badan pelaksana berfungsi sebagai pelaksana pengelolaan zakat.

2.      Lembaga Amil Zakat
       Lembaga zakat sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang zakat merupakan lembaga yang dibentuk oleh masyarakat. Lembaga-lembaga ini merupakan bentukan baik dalam lingkup regional maupun nasional. Banyak lembaga amil zakat yang dibentuk oleh organisasi politik, lembaga takmir masjid, pesantren, media massa, bank dan lembaga keuangan kemasyarakatan. Tiap lembaga zakat memiliki struktur organisasi yang berbeda-beda.

  1. Kajian Ulama Fiqh Tentang Lembaga Amil Zakat
Pada prinsipnya zakat adalah kewajiban yang unik jika dibandingkan dengan shadaqoh dan infak serta wakaf. Keunikan itu tidak hanya tercermin dari nilai persentasenya atau pun ukuran wajib zakatnya. Akan tetapi, yang berhak menerima zakat pun adalah orang atau golongan tertentu.
Di dalam Al-Qur’an surat at- Taubah ayat 60 secara jelas merupakan dalil yang menentukan para penerima zakat. Dalam ayat tersebut terdapat delapan golongan yang menjadi wajib sasaran zakat. Golongan yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah: (1) fakir, (2) miskin, (3) pengurus-pengurus zakat, (4) muallaf, (5)  budak, (6) orang yang berutang, (7) fisabilillah, (8) musafir. Kedelapan golongan inilah yang merupakan sasaran lembaga amil zakat untuk menyalurkan dana zakat yang dikumpulnya.
Pada perkembangan masa sekarang, di setiap Negara paling tidak hanya ada empat kelompok penerima wajib zakat, yaitu: fakir, miskin, orang yang berutang, dan orang yang sedang dalam perjalanan.
Kajian seputar pandangan para ulama tentang sasaran orang yang berhak menerima zakat ini ditunjukkan oleh table di bawah ini (disarikan dari Zuhayly, 2000).

Tabel 1
Kajian Fiqh Seputar Zakat
Keterangan
Mazhab Syafi’i
Mazhab Hanafi
Mazhab Maliki
Mazhab Hambali
Sasaran pembagian zakat kepada kelompok yang delapan
Zakat fitrah boleh untuk satu orang fakir atau miskin
Membolehkan hanya kepada satu kelompok atau orang saja di antara delapan kelompok
Sama dengan Hanafi
Hanya satu kelompok
Selain kelompok delapan
Tidak boleh
Tidak boleh
Tidak boleh
Tidak boleh
Besar Zakat yang diberikan kepada penerimanya.
Boleh diberikan kepada fakir dan miskin sebesar keperluan untuk memenuhi hajatnya.
Tidak mengehendaki jika satu orang diberi sebesar satu nishab zakat, akan tetapi di bawah itu boleh.
Boleh saja diberikan sebesar satu nishab.
Sama dengan Syafi’i.
Mewakilkan orang lain untuk membagikan zakat
Boleh dengan syarat ada niat dari orang yang mewakilkan.
Boleh dengan syarat ada niat dari orang yang mewakilkan.
Boleh dengan syarat ada niat dari orang yang mewakilkan.
Boleh dengan syarat ada niat dari orang yang mewakilkan.

Hal-hal di atas merupakan permasalahan fiqh yang terjadi pada penyaluran zakat oleh lembaga amil zakat. Akan tetapi, permasalahan kontemporer yang menjadi sorotan belakangan ini adalah penyaluran zakat dalam bentuk zakat produktif.
Sepanjang penelusuran kami, permasalahan ini belum kami temukan kajian dari keempat ulama mazhab fiqh yang tersebut dalam table di atas. Baik itu yang berupa melarang maupun yang membolehkan. Akan tetapi, beberapa pendapat menyebutkan bahwa pemberian modal kepada perorangan/kelompok dalam bentuk zakat produktif, amil (lembaga amil zakat) harus mempertimbangkan dengan matang kriteria orang tersebut. hal-hal yang mampu dianalisa seperti kemampuan orang yang mengolah dana yang diberikan sehingga pada suatu saat nanti ia tidak lagi bergantung pada zakat, dan apabila dikelola dengan pengawasan amil zakat, maka hal ini boleh-boleh saja. Karena pada akhirnya nanti tujuan yang diharapkan adalah menjadikan mustahik menjadi muzakki baru yang dapat mengalirkan dana zakat yang baru (Hasan, 2003).

D.   Eksistensi Dan Prospek Lembaga Amil Zakat
1.    Eksistensi Lembaga Amil Zakat
Secara ekplisit seperti yang dikemukakan pada bahasan sebelumnya, bahwa zakat merupakan perintah Allah yang tertera di dalam Al-Qur’an, yang keberadaannya tidak dapat disangkal atau pun dipertanyakan. Perintah itu jelas mengumandangkan bahwa setiap muslim yang sudah terkena nishab zakat wajib mengeluarkannya sebagai wujud pembersihan harta atas rezeki yang dilimpahkan kepadanya. Namun, meski perintah ini sudah merupakan kewajiban mutlak, akantetapi tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar zakat masih sangat minim. Untuk itulah al-Qur’an tidak melarang dan bahkan lebih memberikan peluang agar pengumpulan zakat dilakukan melalui sebuah lembaga yang diatur oleh pemerintah.
Indonesia sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia juga telah menerapkan pengumpulan dan pengelolaan dana zakat secara melembaga maupun dalam bentuk badan organisasi. Hal ini tercantum dalam Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Bab III pasal 6 dan pasal 7 menyatakan bahwa lembaga pengelolaan zakat di Indonesia terdiri atas dua kelompok institusi, yaitu Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat (Sudarsono, 2007).
Lahirnya undang-undang ini memberikan angin segar terhadap tumbuhnya LAZ-LAZ yang dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah. Sejak keluarnya undang-undang tersebut, di Indoneisa terdapat 18 LAZ nasional yang mendapat pengukuhan Menteri Agama. LAZ itu, yakni (1) Dompet Dhuafa, (2) Yayasan Amanah Takaful, (3) Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), (4) Yayasan Baitul Maal Muamalat, (5) Yayasan Dana Sosial Al Falah, (6) Yayasan Baitul Maal Hidayatullah, (7) LAZ Persatuan Islam (PERSIS), (8) Yayasan Baitul Maal Ummat Islam (BAMUIS) PT BNI (persero) tbk, (9) LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat, (10) LAZ Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, (11) LAZ Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia, (12) LAZIS Muhammadiyah, (13) LAZ Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), (14) LAZ Yayasan Dopet Sosial Ummul Quro (DSUQ), (15) LAZ Baituzzakah Pertamina (BAZMA), (16) LAZ Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhid (DPUDT), (17) LAZ Nahdlatul Ulama (NU), dan (18) LAZ Ikatan Persaudaraan Haji (IPHI).
Melihat tumbuh dan berkembangnya LAZ ini memang turut memberikan rasa bangga dan gembira bagi bangsa ini. Karena selain LAZ yang tersebut di atas, masih banyak terdapat LAZ-LAZ lain yg dibentuk oleh masyarakat baik di kota maupun di daerah yang menurut Forum Zakat jumlahnya mencapai 500 lembaga (mengutip dari Hamid yang diambil dari Republika, 5/2/2007).
Hadirnya lembaga zakat yang bak jamur di musim hujan ini memberikan indikasi bahwa tingkat kesadaran masyarakat dalam membayar zakat semakin tinggi. Di lain pihak masyarakat mulai menerima dan percaya akan adanya lembaga pengumpul dan pengelola zakat dan mulai meninggalkan tradisi lama membayar zakat dari tetangga ke tetangga.
Menurut Adi Warman Karim peristiwa menjamurnya LAZ-LAZ di Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Keunikan itu tercermin dalam berbagai hal, seperti:
a)    Semangat menyadarkan umat
Hadirnya lembaga amil zakat memiliki tujuan untuk menjadi penggerak dalam penyadaran umat akan pentingnya berzakat. Bukan tanpa alasan karena potensi zakat yang besar pada kenyataannya belum terhimpun secara optimal. Di lain pihak para wajib zakat masih belum memiliki kesadaran akan pentingnya membayar zakat.
Indonesia bukan negara Islam yang menerapkan hukum memerangi bagi mereka yang membangkang untuk membayar zakat. Maka jika negara tidak berkenan menjadi otoriter untuk pengumpulan zakat, tugas da’i dan amil zakat selaku pihak yang lebih memahami tentang pentingnya berzakat harus menjadi motor untuk penyadaran ini.
b)    Semangat melayani secara professional
Lembaga zakat yang muncul akhir-akhir ini memang merupakan sebuah keuntungan tersendiri bagi para muzakki. Hal ini dikarenakan para muzakki dapat menyalurkan zakatnya melalui lembaga tersebut sehingga tersalur pada orang yang tepat menerimanya. Semangat melayani secara profesional ini tergambar dari kepuasan muzakki atas pelayanan yang diberikan beberapa amil zakat. Dengan transparansi pelaporan dan penyaluran yang tepat sasaran, serta program-program unik dalam pemberdayaan masyarakat membuat muzakki merasa puas dan semakin gemar untuk berzakat. Akan tetapi, semangat profesionalisme crew zakat itu masih didominasi oleh LAZ – LAZ besar, seperti Dompet Dhuafa, Rumah Zakat Indonesia, DPU-DT, YDSF, Al Azhar, dan LAZ besar lainnya.
c)    Semangat berinovasi untuk membantu mustahik
Setiap LAZ-LAZ besar, saat ini banyak memiliki program-program unik dalam memikat hati muzakki. Program unik inilah yang membuat muzakki luluh hatinya menyerahkan dananya kepada LAZ itu. Ambillah contoh Dompet Dhuafa dengan Warung Ukhuwah-nya, DPU-DT dengan Misykat-nya, Rumah Zakat Indonesia dengan Super Qurban-nya, dan program unik lain dari LAZ-LAZ yang tidak kalah inovatifnya. Hal itu semuanya berujung pada semangat LAZ dalam memberdayakan umat.
Inovasi inilah yang perlu dicatat sebagai keunikan tersendiri, karena tidak semua LAZ di negara-negara lain bisa berkreasi sedemikian rupa seperti halnya terjadi di Indonesia. Mungkin seandainya pemerintah turut campur tangan terhadap seluruh pengelolaan zakat, infak dan sedekah (ZIS), mungkin inovasi dan kreasi produk ZIS dari LAZ kita tidak seinovatif dan sekreatif saat ini.
d)    Semangat Memberdayakan Masyarakat
Hadirnya lembaga zakat di berbagai daerah, di masjid-masjid, dan bahkan lembaga pemerintah/swasta memberikan gambaran bahwa nilai sosial masyarakat negara ini masih terpelihara dengan baik. Artinya bahwa masyarakat kita masih menjunjung tinggi arti pentingnya kepedulian untuk sesama.
           
                        Pemaparan Karim di atas tentang eksistensi LAZ di Indonesia saat ini memang memberikan gambaran cita-cita mulia dari lembaga zakat itu sendiri. Akan tetapi, suatu hal yang patut dipertanyakan adalah, apakah cita-cita mulia ini sudah tercapai dan terwujud?
                        Pertanyaan itu timbul didasari atas peristiwa yang sangat fenomenal yaitu tragedi penyaluran zakat di daerah Pasuruan 15 Desember 2008 silam yang sampai menelan korban jiwa. Kejadian ini memberikan dugaan dan pandangan dari berbagai kalangan. Sebagian pendapat mengemukakan bahwa peristiwa itu mencerminkan betapa tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia. Beberapa pendapat menyalahkan ketidak siapan aparat dalam mengamankan pembagian zakat. Sedangkan pendapat lainnya adalah bahwa kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap amil zakat.
                        Dalam konteks pengelolaan zakat peristiwa di atas memberikan gambaran bahwa kinerja amil zakat belum optimal baik dalam menggali potensinya yang besar maupun dalam mengurangi kesenjangan ekonomi dalam masyarakat. Karena bagaimanapun keberadaan amil zakat di Indonesia masih tergolong muda dan masih mencari bentuk format pengelolaan yang lebih baik dari segi yuridis, formal maupun organisasi zakat itu sendiri (www.bazizdki.go.id).

2.    Prospek Lembaga Amil Zakat
Sebelum masuk pada pembahasan peospek lembaga amil zakat, ada baiknya pembahasan akan prospek zakat bagi perekonomian diungkapkan terlebih dahulu. Terkait dengan hal itu, zakat merupakan instrument public yang mempengaruhi sisi demand ekonomi. Secara teoritis, pendistribusian zakat akan mengakibatkan naiknya daya beli masyarakat mustahik yang pada akhirnya akan meningkatkan kurva permintaan melalui agregat demand (Sakti, 2007).
Akan tetapi, secara jangka pendek akan meningkat harga. Namun, peningkatan harga itu otomatis akan meningkatan revenue produsen. Dan jika diasumsikan kenaikan harga ini diketahui semua pelaku pasar, dengan demikian akan mengundang pelaku pasar baru. Implikasinya harga akan terkoreksi. Turunnya harga ini tidak serta-merta akan menurunkan kuantitas produksi keseimbangan. Akan tetapi tetap meningkat. Inilah kemudian yang menunjukkan bahwa zakat mendorong pertumbuhan ekonomi. Lebih lengkap ditunjukkan oleh kurva di bawah ini (Sakti, 2007):


 




                                           





Sumber: Sakti, 2007

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa zakat berpotensi sebagai pendorong laju pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, tentunya potensi itu harus disertai dengan pengumpulan dana zakat yang optimal. Maka di sinilah peran lembaga amil zakat dibutuhkan. Sebagai satu-satunya lembaga pengelola yang disebutkan dalam al-Qur’an, lembaga amil zakat memiliki prospek yang cerah untuk meningkatkan kesejahteraa kaum dhuafa.
Seperti yang dituliskan Adiwarman Karim, prospek itu didorong oleh fator-faktor sebagai berikut:
1.    Potensi Penghimpunan Dana Zakat Yang Besar
Berdasarkan rilisan dari hasil penelitian PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Centre), potensi dana zakat di Indonesia yang populasinya 87% muslim, sangat besar hingga mencapai 9,09 trilliun rupiah tahun 2007. Nilai ini meningkat pesat dibandingkan tahun 2004 yang hanya berpotensi 4,45 trilliun rupiah. Hasil yang berbeda dikemukakan oleh Alfath bahwa potensi zakat Indonesia mencapai 20 trilliun rupiah per tahun. Akan tetapi, yang baru tergali baru Rp 500 miliar per tahun (Karim, 2009).
Terlepas dari berapapun nilainya, kedua hasil survei tersebut memberikan gambaran bahwa potensi itu bukanlah angka yang kecil.jika semua potensi itu dapat terkumpul dan dikelola oleh lembaga amil zakat yang propesional dan amanah, maka bukan mustahil tingkat kesejahteraan rakyat miskin dapat diperbaiki.
2.    Regulasi Yang Mulai Mendukung
Sejak bergulirnya era reformasi, regulasi zakat pun menemukan momentumnya. Jika sebelumnya hanya bersifat instruksi dan keputusan menteri, akhirnya Indonesia memiliki payung hukum tentang zakat, di mana dengan keluarnya Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat pada tanggal 23 September 1999.
3.    Infrastruktur  IT Yang Menunjang
Perkembangan teknologi di masa sekarang memberikan efek yang luar biasa bagi setiap aktifitas kehidupan. Hadirnya inovasi-inovasi teknologi baru yang memudahkan, seperti internet dan lain sebagainya, memberikan kemudahan yang berarti. Jika lembaga amil zakat mampu menerapkan teknologi ini, maka profesionalsime dan kecekatan lembaga amil tersebut akan semakin efektif.
4.    Tingkat kesadaran yang semakin meningkat.
Survei PIRAC melaporkan tingkat kesadaran muzakki meningkat dari 49,8% di tahun 2004 menjadi 55% di tahun 2007. Hal ini berarti dalam kurun waktu 3 tahun terjadi peningkatan sebesar 5,2% kesadaran berzakat dalam masyarakat, jika 5,2% itu dikalikan dengan populasi muzakki di Indonesia, maka terdapat lebih dari 29 juta keluarga sejahtera yang akan menjadi warga sadar zakat. Sedangkan saat ini, diperkirakan hanya ada sekitar 12 – 13 juta muzakki yang membayar zakat via LAZ, berarti masih ada lebih dari separuh potensi zakat yang belum tergarap oleh LAZ (Karim, 2009).

E.   Kendala Dan Strategi Pengembangan Lembaga Amil Zakat
Meskipun begitu besar prospek yang dapat diambil dari pengumpulan dana zakat oleh Lembaga Amil Zakat, namun dalam kenyataannya masih sedikit dana zakat yang terkumpul. Hal ini dikarenakan masih banyak kendala-kendala yang menghambat pengumpulan dana zakat tersebut. Di samping itu strategi-strategi yang harus dilakukan oleh lembaga amil zakat juga perlu ditingkatkan, agar potensi zakat yang besar itu dapat terkumpul dan tersalurkan secara optimal.

1.    Kendala Atau Kelemahan Pengumpulan Dana Zakat
Ada tiga aspek yang menjadi kendala bagi LAZ- LAZ di Indonesia dalam pengumpulan dana zakat, yaitu:
a.    Aspek Sosiologis.
1) Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang membayar zakat
2)    Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap amil zakat.
3)    Masih menggunakan cara lama atau tradisional.
b.    Aspek Manajemen Institusi Zakat
1)    Adanya dualisme institusi pengelolaan zakat (BAZ dan LAZ).
2)    Kelemahan dalam penerapan prinsip manajemen organisasi.
3)    Rendahnya penguasaan teknologi oleh institusi zakat.
c.    Aspek Hukum (Yuridis)
1) Undang-undang tentang pengelolaan zakat no. 38 tahun 1999 berpotensi menghambat pengembangan zakat mengingat substansinya tidak tegas dalam mengatur fungsi regulator, pengawas dan operator.
2) Dalam undang-undang tersebut zakat hanya digunakan sebagai pengurang laba/pendapatan kena pajak dari wajib pajak.

2.    Strategi Pengembangan Lembaga Amil Zakat
Untuk dapat menanggulangi kendala yang disebutkan di atas maka strategi yang dapat dilakukan antara lain adalah (Sudarsono, 2007);
1)    Perlunya pensosialisasian zakat bukan pada wilayah keagamaan saja.
2)    Memahamkan zakat tidak hanya sekedar pendekatan agama tetapi juga ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
3)    Pentingnya kordinasi antar sesama lembaga zakat sehingga akan meningkatkan kinerja masing-masing yang pada akhirnya memberikan pandangan baik bagi masyarakat, sehingga kepercayaan masyarakat kembali timbul terhadap lembaga zakat.
4)    Revisi undang-undang zakat no.38 tahun 1999.



F.    Penutup
Pemaparan di atas memberikan gambaran bagaimana zakat bisa berpotensi sebagai solusi untuk mengatasai kesenjangan ekonomi yang terjadi di negara Indonesia. Begitu besar potensi zakat yang bisa digunakan sebagai penopang untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin yang selalu menjadi momok menakutkan bagi negara.
Akan tetapi, potensi yang besar itu pada saat sekarang masih belum bisa dioptimalkan secara efektif dan efisien. Meskipun pertumbuhan lembaga-lembaga zakat meningkat drastis, namun perjalanannya masih membutuhkan pengkajian ulang atas program-program yang direncanakan. Pembenahan terhadap organisasi lembaga zakat masih sangat diperlukan, agar harapan potensi besar akan dana zakat itu dapat terkumpul secara optimal sehingga disalurkan untuk menanggulangi tingkat kesejahteraan kaum miskin di negara Indonesia.
Namun, terlepas dari itu semua uluran tangan pemerintah baik dalam bentuk undang-undang yang baku sangat diperlukan guna mewujudkan tujuan mulia ini. Sekalipun undang-undang zakat telah dibentuk, namun masih dirasakan setengah hati dan perlu adanya revisi yang lebih mempertajam posisi pentingnya dana zakat bagi negara.



  

Daftar Pustaka

Sudarsono, Heri. Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia,  2007.

Az Zuhayly, Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000.

Hasan, Ali M. Masail Fiqhiyah, Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuanga, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.

Sakti, Ali. Ekonomi Islam, Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern, Jakarta: Aqsha Publising, 2007.

Karim, Adiwarman, Fenomena Di Balik Menjamurnya Lembaga Amil Zakat Di Indonesia, 2009.

Arrsa Casmi Ria, Peran Negara Dalam Merevitalisasi Pengelolaan Zakat Sebagai Upaya Strategis  Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia, artikel. www.legalitas.org.