Studi Ekonomi
Blog yang membahas seputar ekonomi
Senin, 24 Desember 2018
Lembaga Amil Zakat (LAZ)
Studi Ekonomi -
- Pendahuluan
Secara istilah fiqih zakat
berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk diserahkan
kepada orang-orang yang berhak (Sudarsono, 2007). Zakat merupkan legitimasi
Allah yang tercantum dalam al-Qur’an. Kata zakat sendiri dalam bentuk ma’rifah
disebut 30 kali, yang mana 27 kali di antaranya disebutkan dalam satu ayat
bersama shalat.
Berdasarkan kesejarahan, zakat diwajibkan pada tahun ke-9 hijriah, sedangkan
shadaqoh fitrah pada tahun ke-2 hijriah. Akan tetapi ahli hadits memandang
bahwa zakat telah diwajibkan sebelum tahun ke-9 H, ketika Maulana Abdul Hasan
berkata zakat diwajibkan setelah hijrah
dan dalam kurun waktu lima
tahun setelahnya (Sudarsono, 2007; mengutip Abdul Hasan).
Sebelum diwajibkan, zakat
merupakan sumbangan sukarela yang belum ada peraturan khusus atau ketentuan
hukumnya. Peraturan itu kemudian hadir seiring dengan kokohnya dasar islam, dan
semakin banyaknya orang masuk islam. Peraturan yang disusun tersebut meliputi
system pengumpulan zakat, barang-barang yang dikenakan zakat, batas-batas
zakat, dan tingkat persentase zakat untuk barang yang berbeda-beda (Sudarsono,
2007).
Pada perkembangannya, masa
kehidupan Rasulullah dan khulafaurrasyidin, zakat merupakan sumber pendapatan
utama Negara islam. Zakat dimasukkan sebagai perisai utama kebijakan fiscal
dalam rangka memecahkan masalah ekonomi secara umum.
Pelaksanaan pemungutan zakat di
masa pemerintahan Rasulullah dan Khulafaurrasyidin menjadi bukti arti
pentingnya zakat bagi pembangunan Negara. Namun, dengan catatan bahwa
pengumpulan zakat tersebut harus dilakukan secara optimal.
Di Indonesia sendiri, usaha untuk
mengoptimalkan konsep zakat telah lama dilakukan. Akan tetapi, seiring dengan
hal tersebut masih banyak masyarakat, baik dari kalangan muslim, pemerintah,
yang menolak urgensi dalam melegalisasikan peraturan zakat tersebut (Sudarsono,
2007).
- Lembaga Zakat
Dalam khazanah hukum Islam, yang bertugas mengambil
dan yang menjemput zakat adalah para petugas zakat
(amil). Menurut Imam Qurthubi, amil adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus
oleh imam/pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung, dan mencatat atas harta zakat
yang diambil dari para muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak
menerimanya (Karim,2009).
Pada masa Rasulullah SAW yang diangkat menjadi amil
zakat adalah Baginda Umar bin Khattab ra. Rasulullah
SAW juga pernah mempekerjakan seorang pemuda dari Suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah untuk mengurus
urusan zakat Bani Sulaim. Beliau
juga pernah mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat. Selain Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW juga pernah
mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman,
yang di samping bertugas sebagai da’i (mendakwahkan Islam secara umum), juga mempunyai tugas khusus menjadi amil zakat.
Ketika Umar menjadi khalifah, beliau mengangkat Ibnus
Sa'dy Al-Maliki sebagai pengumpul zakat. Hal ini
diriwayatkan oleh Busr bin Sa'ied dari Ibnus Sa'dy Al-Maliki, yang berkata,
''Umar pernah mengangkat aku untuk mengurus zakat (amil). Ketika usai pekerjaanku dan aku laporkan kepadanya, maka dia
kemudian mengirimi aku upah. Maka aku
katakan, 'Sungguh, aku melakukan tugas ini karena Allah.' Maka Umar berkata, 'Ambillah apa yang telah diberikan kepadamu. Aku dulu
juga pernah menjadi amil Rasulullah
SAW, dan beliau memberi upah untuk tugas itu. Ketika aku katakan kepada beliau
seperti yang kau katakan tadi, maka Rasulullah SAW berkata, bila engkau diberi sesuatu
yang tak kau pinta, maka makanlah dan sedekahkanlah.'” (HR Al-Bukhari dan Muslim), (Karim,2009).
Di Indonesia sejarah kelahiran amil zakat telah
digagas sejak 13 abad silam. Sejak cahaya Islam terbit dan menerangi nusantara,
sejak itulah semangat masyarakat untuk mengenal, memahami dan mengamalkan Islam
muncul. Namun pada perjalanannya praktek pengelolaan zakat tersebut masih
bersifat alamiah dan sederhana.
Pada tanggal 24September 1968, sebelas ulama tingkat
nasional menyarankan kepada presiden Soeharto untuk membentuk badan pengelolaan
zakat tersebut. Pada acara Isra'
Mi'raj di Istana Negara, 26 Oktober 1968, Presiden menegaskan kesediaannya menjadi amil tingkat nasional. Seruan
tersebut disusul dengan dikeluarkannya surat perintah
Presiden No. 07/POIN/10/1968 tanggal 31 Oktober 1968. Isinya, mengamanatkan kepada Mayjen Alamsyah Ratu
Prawiranegara, Kol. Inf. Drs. Azwar
Hamid dan Kol. Inf. Ali Afandi untuk membantu Presiden dalam proses administrasi dan tata usaha penerimaan zakat secara
nasional. Seruan Presiden ini ditindaklanjuti
oleh Gubernur DKI Jakarta dengan mendirikan Bazis DKI. Juga Bazis- Bazis daerah
oleh kepala daerah masing-masing. Selanjutnya, untuk lebih menguatkan dan
mengembangkan keberadaan lembaga pengelola zakat, akhirnya dikeluarkan
Instruksi Menteri Agama Nomor 16 tahun 1989 tentang Pembinaan Zakat dan
Infak/Sedekah. Selanjutnya dikukuhkan dengan Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor
29 Tahun 1991.
(mengutip Karim, 2009).
Perkembangan selanjutnya,
setelah jatuhnya rezim Soeharto, dan dimulainya era pemerintahan Habibie,
dengan didukung oleh masyarakat maka Habibie memerintahkan untuk membuat
undang-undang pengelolaan zakat. Sebagai hasil dari perintah itu lahirlah
Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dan sejak itulah
legalitas lembaga amil zakat diakui undang-undang.
Pada BAB III pasal 6 dan 7
menyatakan bahwa lembaga pengelola zakat di Indonesia terdiri atas dua kelompok
institusi, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Yang mana
BAZ merupakan badan yang dibentuk pemerintah sedangkan LAZ dibentuk oleh
masyarakat.
1. Badan Amil Zakat
Badan Amil Zakat adalah badan tertinggi pengelola zakat yang
terdiri atas dewan pertimbangan, komisi pengawas dan badan pelaksana. Ketiga
unsure tersebut masing-masing memiliki fungsi, yaitu: (1) dewan pertimbangan
berfungsi untuk memberikan pertimbangan, fatwa, saran dan rekomendasi kepada
badan pengelola dan komisi pengawas dalam pengelolaan Badan Amil Zakat yang
meluputi aspek syariah dan aspek manajerial.
Adapun (2) komisi pengawa merupakan pengawas internal lembaga
atas operasional kegiatan yang dilaksanakan badan pelaksana. Sedangkan (3)
badan pelaksana berfungsi sebagai pelaksana pengelolaan zakat.
2. Lembaga Amil Zakat
Lembaga zakat sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang
zakat merupakan lembaga yang dibentuk oleh masyarakat. Lembaga-lembaga
ini merupakan bentukan baik dalam lingkup regional maupun nasional. Banyak
lembaga amil zakat yang dibentuk oleh organisasi politik, lembaga takmir masjid, pesantren, media massa, bank dan lembaga keuangan kemasyarakatan.
Tiap lembaga zakat memiliki struktur organisasi yang berbeda-beda.
- Kajian Ulama Fiqh Tentang Lembaga Amil Zakat
Pada prinsipnya zakat adalah
kewajiban yang unik jika dibandingkan dengan shadaqoh dan infak serta wakaf.
Keunikan itu tidak hanya tercermin dari nilai persentasenya atau pun ukuran wajib
zakatnya. Akan tetapi, yang berhak menerima zakat pun adalah orang atau
golongan tertentu.
Di dalam Al-Qur’an surat at- Taubah ayat 60
secara jelas merupakan dalil yang menentukan para penerima zakat. Dalam ayat
tersebut terdapat delapan golongan yang menjadi wajib sasaran zakat. Golongan
yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah: (1) fakir, (2) miskin, (3)
pengurus-pengurus zakat, (4) muallaf, (5)
budak, (6) orang yang berutang, (7) fisabilillah, (8) musafir. Kedelapan
golongan inilah yang merupakan sasaran lembaga amil zakat untuk menyalurkan
dana zakat yang dikumpulnya.
Pada perkembangan masa sekarang,
di setiap Negara paling tidak hanya ada empat kelompok penerima wajib zakat,
yaitu: fakir, miskin, orang yang berutang, dan orang yang sedang dalam perjalanan.
Kajian seputar pandangan para
ulama tentang sasaran orang yang berhak menerima zakat ini ditunjukkan oleh
table di bawah ini (disarikan dari Zuhayly, 2000).
Tabel 1
Kajian Fiqh Seputar Zakat
Keterangan
|
Mazhab Syafi’i
|
Mazhab Hanafi
|
Mazhab Maliki
|
Mazhab Hambali
|
Sasaran
pembagian zakat kepada kelompok yang delapan
|
Zakat fitrah
boleh untuk satu orang fakir atau miskin
|
Membolehkan
hanya kepada satu kelompok atau orang saja di antara delapan kelompok
|
Sama dengan
Hanafi
|
Hanya satu
kelompok
|
Selain kelompok
delapan
|
Tidak boleh
|
Tidak boleh
|
Tidak boleh
|
Tidak boleh
|
Besar Zakat
yang diberikan kepada penerimanya.
|
Boleh
diberikan kepada fakir dan miskin sebesar keperluan untuk memenuhi hajatnya.
|
Tidak
mengehendaki jika satu orang diberi sebesar satu nishab zakat, akan tetapi di
bawah itu boleh.
|
Boleh saja
diberikan sebesar satu nishab.
|
Sama dengan
Syafi’i.
|
Mewakilkan
orang lain untuk membagikan zakat
|
Boleh dengan
syarat ada niat dari orang yang mewakilkan.
|
Boleh dengan
syarat ada niat dari orang yang mewakilkan.
|
Boleh dengan
syarat ada niat dari orang yang mewakilkan.
|
Boleh dengan
syarat ada niat dari orang yang mewakilkan.
|
Hal-hal di atas merupakan
permasalahan fiqh yang terjadi pada penyaluran zakat oleh lembaga amil zakat.
Akan tetapi, permasalahan kontemporer yang menjadi sorotan belakangan ini
adalah penyaluran zakat dalam bentuk zakat produktif.
Sepanjang penelusuran kami,
permasalahan ini belum kami temukan kajian dari keempat ulama mazhab fiqh yang
tersebut dalam table di atas. Baik itu yang berupa melarang maupun yang
membolehkan. Akan tetapi, beberapa pendapat menyebutkan bahwa pemberian modal
kepada perorangan/kelompok dalam bentuk zakat produktif, amil (lembaga amil
zakat) harus mempertimbangkan dengan matang kriteria orang tersebut. hal-hal yang mampu dianalisa
seperti kemampuan orang yang mengolah dana yang diberikan sehingga pada suatu
saat nanti ia tidak lagi bergantung pada zakat, dan apabila dikelola dengan
pengawasan amil zakat, maka hal ini boleh-boleh saja. Karena pada akhirnya
nanti tujuan yang diharapkan adalah menjadikan mustahik menjadi muzakki baru
yang dapat mengalirkan dana zakat yang baru (Hasan, 2003).
D. Eksistensi Dan Prospek Lembaga Amil Zakat
1.
Eksistensi Lembaga Amil Zakat
Secara ekplisit seperti yang
dikemukakan pada bahasan sebelumnya, bahwa zakat merupakan perintah Allah yang
tertera di dalam Al-Qur’an, yang keberadaannya tidak dapat disangkal atau pun
dipertanyakan. Perintah itu jelas mengumandangkan bahwa setiap muslim yang
sudah terkena nishab zakat wajib mengeluarkannya sebagai wujud pembersihan
harta atas rezeki yang dilimpahkan kepadanya. Namun, meski perintah ini sudah
merupakan kewajiban mutlak, akantetapi tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar
zakat masih sangat minim. Untuk itulah al-Qur’an tidak melarang dan bahkan
lebih memberikan peluang agar pengumpulan zakat dilakukan melalui sebuah
lembaga yang diatur oleh pemerintah.
Indonesia sebagai Negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia juga telah menerapkan pengumpulan dan
pengelolaan dana zakat secara melembaga maupun dalam bentuk badan organisasi.
Hal ini tercantum dalam Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat, Bab III pasal 6 dan pasal 7 menyatakan bahwa lembaga pengelolaan zakat
di Indonesia terdiri atas dua kelompok institusi, yaitu Badan Amil Zakat dan
Lembaga Amil Zakat (Sudarsono, 2007).
Lahirnya undang-undang ini
memberikan angin segar terhadap tumbuhnya LAZ-LAZ yang dibentuk oleh masyarakat
dan dikukuhkan oleh pemerintah. Sejak keluarnya undang-undang tersebut, di
Indoneisa terdapat 18 LAZ nasional yang mendapat pengukuhan
Menteri Agama. LAZ itu, yakni (1) Dompet Dhuafa, (2) Yayasan Amanah Takaful,
(3) Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), (4) Yayasan Baitul Maal Muamalat, (5)
Yayasan Dana Sosial Al Falah, (6) Yayasan Baitul Maal Hidayatullah, (7) LAZ
Persatuan Islam (PERSIS), (8) Yayasan Baitul Maal Ummat Islam (BAMUIS) PT BNI
(persero) tbk, (9) LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat, (10) LAZ Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, (11) LAZ Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia,
(12) LAZIS Muhammadiyah, (13) LAZ Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), (14) LAZ
Yayasan Dopet Sosial Ummul Quro (DSUQ), (15) LAZ Baituzzakah Pertamina (BAZMA),
(16) LAZ Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhid (DPUDT), (17) LAZ Nahdlatul Ulama
(NU), dan (18) LAZ Ikatan Persaudaraan Haji (IPHI).
Melihat tumbuh dan berkembangnya LAZ ini memang
turut memberikan rasa bangga dan gembira bagi bangsa ini. Karena selain LAZ
yang tersebut di atas, masih banyak terdapat LAZ-LAZ lain yg dibentuk oleh
masyarakat baik di kota maupun di daerah yang menurut Forum Zakat jumlahnya
mencapai 500 lembaga (mengutip dari Hamid yang diambil
dari Republika, 5/2/2007).
Hadirnya lembaga zakat yang bak jamur di musim
hujan ini memberikan indikasi bahwa tingkat kesadaran masyarakat dalam membayar
zakat semakin tinggi. Di lain pihak masyarakat mulai menerima dan percaya akan
adanya lembaga pengumpul dan pengelola zakat dan mulai meninggalkan tradisi
lama membayar zakat dari tetangga ke tetangga.
Menurut Adi Warman Karim peristiwa menjamurnya
LAZ-LAZ di Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Keunikan itu tercermin dalam
berbagai hal, seperti:
a)
Semangat
menyadarkan umat
Hadirnya lembaga amil zakat memiliki tujuan
untuk menjadi penggerak dalam penyadaran umat akan pentingnya berzakat. Bukan
tanpa alasan karena potensi zakat yang besar pada kenyataannya belum terhimpun
secara optimal. Di lain pihak para wajib zakat masih belum memiliki kesadaran
akan pentingnya membayar zakat.
Indonesia bukan negara Islam yang menerapkan hukum memerangi bagi mereka yang membangkang untuk membayar zakat. Maka jika negara
tidak berkenan menjadi otoriter untuk pengumpulan zakat, tugas da’i dan amil
zakat selaku pihak yang lebih memahami tentang pentingnya berzakat harus
menjadi motor untuk penyadaran ini.
b)
Semangat
melayani secara professional
Lembaga zakat yang muncul akhir-akhir ini memang merupakan sebuah
keuntungan tersendiri bagi para muzakki. Hal ini dikarenakan para muzakki dapat
menyalurkan zakatnya melalui lembaga tersebut sehingga tersalur pada orang yang
tepat menerimanya. Semangat
melayani secara profesional ini tergambar dari kepuasan muzakki atas pelayanan yang diberikan beberapa amil zakat. Dengan
transparansi pelaporan dan penyaluran
yang tepat sasaran, serta program-program unik dalam pemberdayaan masyarakat membuat muzakki merasa puas dan semakin
gemar untuk berzakat. Akan tetapi, semangat
profesionalisme crew zakat itu masih didominasi oleh LAZ – LAZ besar, seperti Dompet Dhuafa, Rumah Zakat
Indonesia, DPU-DT, YDSF, Al Azhar,
dan LAZ besar lainnya.
c)
Semangat
berinovasi untuk membantu mustahik
Setiap LAZ-LAZ besar, saat ini banyak memiliki
program-program unik dalam memikat
hati muzakki. Program unik inilah yang membuat muzakki luluh hatinya menyerahkan dananya kepada LAZ itu. Ambillah contoh
Dompet Dhuafa dengan Warung Ukhuwah-nya, DPU-DT dengan
Misykat-nya, Rumah Zakat Indonesia dengan
Super Qurban-nya, dan program unik lain dari LAZ-LAZ yang tidak kalah inovatifnya. Hal itu semuanya berujung pada semangat
LAZ dalam memberdayakan umat.
Inovasi inilah yang perlu dicatat sebagai keunikan
tersendiri, karena tidak semua
LAZ di negara-negara lain bisa berkreasi sedemikian rupa seperti halnya terjadi di Indonesia. Mungkin seandainya pemerintah
turut campur tangan terhadap seluruh pengelolaan zakat, infak dan sedekah
(ZIS), mungkin inovasi dan kreasi produk ZIS dari LAZ kita tidak seinovatif dan
sekreatif saat ini.
d) Semangat Memberdayakan
Masyarakat
Hadirnya lembaga zakat di
berbagai daerah, di masjid-masjid, dan bahkan lembaga pemerintah/swasta memberikan
gambaran bahwa nilai sosial masyarakat negara ini
masih terpelihara dengan baik. Artinya bahwa masyarakat kita masih menjunjung
tinggi arti pentingnya kepedulian untuk sesama.
Pemaparan
Karim di atas tentang eksistensi LAZ di Indonesia saat ini memang memberikan
gambaran cita-cita mulia dari lembaga zakat itu sendiri. Akan tetapi, suatu hal
yang patut dipertanyakan adalah, apakah cita-cita mulia ini sudah tercapai dan
terwujud?
Pertanyaan itu timbul didasari atas peristiwa
yang sangat fenomenal yaitu tragedi penyaluran zakat di daerah Pasuruan 15
Desember 2008 silam yang sampai menelan korban jiwa. Kejadian ini memberikan
dugaan dan pandangan dari berbagai kalangan. Sebagian pendapat mengemukakan
bahwa peristiwa itu mencerminkan betapa tingginya tingkat kemiskinan di
Indonesia. Beberapa pendapat menyalahkan ketidak siapan aparat dalam
mengamankan pembagian zakat. Sedangkan pendapat lainnya adalah bahwa kurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap amil zakat.
Dalam konteks pengelolaan zakat peristiwa di
atas memberikan gambaran bahwa kinerja amil zakat belum optimal baik dalam
menggali potensinya yang besar maupun dalam mengurangi kesenjangan ekonomi
dalam masyarakat. Karena bagaimanapun keberadaan amil zakat di Indonesia masih
tergolong muda dan masih mencari bentuk format pengelolaan yang lebih baik dari
segi yuridis, formal maupun organisasi zakat itu sendiri (www.bazizdki.go.id).
2. Prospek Lembaga Amil Zakat
Sebelum masuk pada pembahasan peospek lembaga
amil zakat, ada baiknya pembahasan akan prospek zakat bagi perekonomian
diungkapkan terlebih dahulu. Terkait dengan hal itu, zakat merupakan instrument public yang mempengaruhi sisi demand ekonomi. Secara teoritis,
pendistribusian zakat akan mengakibatkan naiknya daya beli masyarakat mustahik yang pada akhirnya akan
meningkatkan kurva permintaan melalui agregat demand (Sakti, 2007).
Akan tetapi, secara jangka pendek akan meningkat
harga. Namun, peningkatan harga itu otomatis akan meningkatan revenue produsen. Dan jika diasumsikan
kenaikan harga ini diketahui semua pelaku pasar, dengan demikian akan
mengundang pelaku pasar baru. Implikasinya harga akan terkoreksi. Turunnya
harga ini tidak serta-merta akan menurunkan kuantitas produksi keseimbangan.
Akan tetapi tetap meningkat. Inilah kemudian yang menunjukkan bahwa zakat
mendorong pertumbuhan ekonomi. Lebih lengkap ditunjukkan oleh kurva di bawah
ini (Sakti, 2007):
Sumber: Sakti, 2007
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa zakat
berpotensi sebagai pendorong laju pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, tentunya
potensi itu harus disertai dengan pengumpulan dana zakat yang optimal. Maka di
sinilah peran lembaga amil zakat dibutuhkan. Sebagai satu-satunya lembaga
pengelola yang disebutkan dalam al-Qur’an, lembaga amil zakat memiliki prospek
yang cerah untuk meningkatkan kesejahteraa kaum dhuafa.
Seperti yang dituliskan Adiwarman Karim, prospek
itu didorong oleh fator-faktor sebagai berikut:
1.
Potensi Penghimpunan Dana Zakat Yang Besar
Berdasarkan rilisan dari hasil penelitian PIRAC
(Public Interest Research and Advocacy
Centre), potensi dana zakat di Indonesia yang populasinya 87% muslim,
sangat besar hingga mencapai 9,09 trilliun rupiah tahun 2007. Nilai ini
meningkat pesat dibandingkan tahun 2004 yang hanya berpotensi 4,45 trilliun
rupiah. Hasil yang berbeda dikemukakan oleh Alfath bahwa potensi zakat
Indonesia mencapai 20 trilliun rupiah per tahun. Akan tetapi, yang baru tergali
baru Rp 500 miliar per tahun (Karim, 2009).
Terlepas dari berapapun nilainya, kedua hasil survei
tersebut memberikan gambaran bahwa potensi itu bukanlah angka yang kecil.jika
semua potensi itu dapat terkumpul dan dikelola oleh lembaga amil zakat yang
propesional dan amanah, maka bukan mustahil tingkat kesejahteraan rakyat miskin
dapat diperbaiki.
2.
Regulasi Yang Mulai Mendukung
Sejak bergulirnya era reformasi, regulasi zakat
pun menemukan momentumnya. Jika sebelumnya hanya bersifat instruksi dan
keputusan menteri, akhirnya Indonesia memiliki payung hukum tentang zakat, di mana dengan keluarnya Undang-Undang No. 38 tahun 1999
tentang pengelolaan zakat pada tanggal 23 September 1999.
3.
Infrastruktur
IT Yang Menunjang
Perkembangan teknologi di masa sekarang
memberikan efek yang luar biasa bagi setiap aktifitas kehidupan. Hadirnya
inovasi-inovasi teknologi baru yang memudahkan, seperti internet dan lain
sebagainya, memberikan kemudahan yang berarti. Jika lembaga amil zakat mampu
menerapkan teknologi ini, maka profesionalsime dan kecekatan lembaga amil
tersebut akan semakin efektif.
4.
Tingkat kesadaran yang semakin meningkat.
Survei PIRAC melaporkan tingkat kesadaran muzakki meningkat dari 49,8% di tahun 2004 menjadi
55% di tahun 2007. Hal ini berarti dalam kurun waktu 3 tahun terjadi
peningkatan sebesar 5,2% kesadaran berzakat dalam masyarakat, jika 5,2% itu
dikalikan dengan populasi muzakki di
Indonesia, maka terdapat lebih dari 29 juta keluarga sejahtera yang akan
menjadi warga sadar zakat. Sedangkan saat ini, diperkirakan hanya ada sekitar
12 – 13 juta muzakki yang membayar
zakat via LAZ, berarti masih ada lebih dari separuh potensi zakat yang belum
tergarap oleh LAZ (Karim, 2009).
E. Kendala Dan Strategi Pengembangan Lembaga Amil Zakat
Meskipun begitu besar prospek yang dapat diambil dari
pengumpulan dana zakat oleh Lembaga Amil Zakat, namun dalam kenyataannya masih
sedikit dana zakat yang terkumpul. Hal ini dikarenakan masih banyak
kendala-kendala yang menghambat pengumpulan dana zakat tersebut. Di samping itu
strategi-strategi yang harus dilakukan oleh lembaga amil zakat juga perlu
ditingkatkan, agar potensi zakat yang besar itu dapat terkumpul dan tersalurkan
secara optimal.
1.
Kendala Atau Kelemahan Pengumpulan Dana Zakat
Ada tiga aspek
yang menjadi kendala bagi LAZ- LAZ di Indonesia dalam pengumpulan dana zakat,
yaitu:
a. Aspek Sosiologis.
1) Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang
membayar zakat
2) Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap amil
zakat.
3) Masih menggunakan cara lama atau tradisional.
b. Aspek Manajemen Institusi Zakat
1) Adanya dualisme institusi pengelolaan zakat (BAZ dan LAZ).
2) Kelemahan dalam penerapan prinsip manajemen organisasi.
3) Rendahnya penguasaan teknologi oleh institusi zakat.
c. Aspek Hukum (Yuridis)
1) Undang-undang tentang pengelolaan zakat no. 38 tahun
1999 berpotensi menghambat pengembangan zakat mengingat substansinya tidak
tegas dalam mengatur fungsi regulator, pengawas dan operator.
2) Dalam undang-undang tersebut zakat hanya digunakan
sebagai pengurang laba/pendapatan kena pajak dari wajib pajak.
2.
Strategi Pengembangan Lembaga Amil Zakat
Untuk dapat menanggulangi kendala yang disebutkan di atas maka strategi
yang dapat dilakukan antara lain adalah (Sudarsono, 2007);
1) Perlunya pensosialisasian zakat bukan pada wilayah
keagamaan saja.
2) Memahamkan zakat tidak hanya sekedar pendekatan agama
tetapi juga ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
3) Pentingnya kordinasi antar sesama lembaga zakat sehingga akan meningkatkan kinerja
masing-masing yang pada akhirnya memberikan pandangan baik bagi masyarakat,
sehingga kepercayaan masyarakat kembali timbul terhadap lembaga zakat.
4) Revisi undang-undang zakat no.38 tahun 1999.
F. Penutup
Pemaparan di atas memberikan gambaran bagaimana zakat
bisa berpotensi sebagai solusi untuk mengatasai kesenjangan ekonomi yang
terjadi di negara
Indonesia. Begitu besar potensi zakat yang bisa digunakan
sebagai penopang untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin yang selalu
menjadi momok menakutkan bagi negara.
Akan tetapi, potensi yang besar itu pada saat sekarang
masih belum bisa dioptimalkan secara efektif dan efisien. Meskipun pertumbuhan
lembaga-lembaga zakat meningkat drastis, namun
perjalanannya masih membutuhkan pengkajian ulang atas program-program yang
direncanakan. Pembenahan terhadap organisasi lembaga zakat masih sangat
diperlukan, agar harapan potensi besar akan dana zakat itu dapat terkumpul
secara optimal sehingga disalurkan untuk menanggulangi tingkat kesejahteraan
kaum miskin di negara Indonesia.
Namun, terlepas dari itu semua uluran tangan
pemerintah baik dalam bentuk undang-undang yang baku sangat diperlukan guna
mewujudkan tujuan mulia ini. Sekalipun undang-undang zakat telah dibentuk,
namun masih dirasakan
setengah hati dan perlu adanya revisi yang lebih mempertajam posisi pentingnya
dana zakat bagi negara.
Daftar Pustaka
Sudarsono, Heri.
Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia, 2007.
Az Zuhayly,
Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000.
Hasan, Ali M.
Masail Fiqhiyah, Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuanga, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Sakti, Ali. Ekonomi Islam, Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern, Jakarta: Aqsha Publising, 2007.
Karim, Adiwarman, Fenomena
Di Balik Menjamurnya Lembaga Amil Zakat Di Indonesia, 2009.
Arrsa
Casmi Ria, Peran Negara Dalam
Merevitalisasi Pengelolaan Zakat Sebagai Upaya Strategis Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia, artikel. www.legalitas.org.
Langganan:
Postingan (Atom)