Rabu, 03 Mei 2017

EKONOMI SUFISTIK

Studi Ekonomi -
Oleh : Siti Nur Roisah
Prodi : Ekonomi Syariah
PENDEKATAN EKONOMI SUFISTIK MODEL AL-GHAZALI



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Kajian pemikiran tentang system keuangan dan usaha-usaha ( bisnis ) dalam kegiatan perekonomian maupun teori-teori tentang itu dari para pemikir muslim dewasa ini, baik klasik maupun modern masih sangat sedikit, bahkan hampir tidak kita temui. Padahal para pemikir dan cendikiawan muslim klasik yang hampir di setiap karya dan tulisannya selalu menampilkan ide-ide dan gagasan-gagasan cemerlangnya tentang keuangan yang berkaitan dengan masalah riba, utang-piutang, perpajakan, warisan, zakat dan sejenisnya. Dalam hal itu, Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang biasa disebut Al-Ghazali dalam gagasan dan ide-ide tentang ekonomi, Al-Ghazali tidak mengekor pada teori-teori ekonom sebelumnya. Karena memang belum ada waktu itu. Ia mengungkap dan menjelaskan hukum-hukum muamalah islam sebagaimana ulama-ulama terdahulu serta tertulis jelas pada kitab al-kasbi dalam ihya ulumuddin, karya monumentalnya. Demikian cikal bakal teori eko-sufistik al-Ghazali, yang suatu saat ( kini ) menjadi rujukan bagi pengembangan ekonomi islam kontemporer.
Al-Ghazali dalam dunia islam dikenal sebagai ulama sufi yang waktu itu hanya dikenal dikalangan ahli Sunnah, penyebar paham asy’ariyah, dan “alergi” terhadap dunia, di bidang keilmuan pun  filsafat menjadi sasaran kritik, sebagaimana tahafutul falasifah karyanya. Karena, ia melakukan penyelamatan terhadap umat yang ingin mencari penghidupan dunia, dan oleh karena itu teorinya dipandang mengandung spiritualitas-sufistik serta etika dan hukum bisnis. Al-Ghazali mendasarkan teori moneter dan kegiatan ekonominya pada al-Qur’an dengan semangat spiritualitas dan kesufiannya, sehingga dapat dikatakan bahwa teori ekonomi al-Ghazali dapat dinobatkan sebagai model ekonomi sufistik al-Ghazali.
  1. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep ekonomi al-Ghazali?
2.      Bagaimana teori moneter al-Ghazali?
  1. Tujuan
1.    Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan persoalan moneter al-Ghazali, sehingga dengan adanya data itu dapat diketahui betul atau tidaknya teori moneter al-Ghazali sesuai dengan teori moneter modern.
2.  Untuk lebih mengetahui dan mendalami pandangan Abu Hamid al-Ghazali mengenai kegiatan ekonomi yang dianjurkan oleh agama dan yang dilarang oleh agama, di mana dua hal tersebut penting untuk diketahui bagi para pelaku bisnis dan dunia usaha.

  
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Konsep Ekonomi Al-Ghazali
1.      Lima aspek dalam kegiatan ekonomi
Secara harfiyah ( etimologis ), kata-kata “amal” dan “kasb” dalam ekopnomi islam merupakan bentuk lain dari istilah usaha dalam peningkatan mencari rizki. Dengan perkataan lain, kegiatan-kegiatan ekonomi adalah identic dengan amal ( bekerja ) dan kasb ( mencari ). Jadi, beramal artinya adalah setiap usaha manusia yang bersifat badaniyah ( konkret ) dan ruhaniyah ( abstrak ) untuk memenuhio kebutuhan materi atau yang bermanfaat. Konsepsi al-Ghazali tentang kegiatan ekonomi, menurutnya, kegiatan ekonomi tidak lepas dari kegiatan mencari kebutuhan hidup. Adapun kebutuhan yang ia maksudkan itu mencakup tiga hal yaitu makanan pokok, tempat tinggal, dan pakaian. Maka kebutuhan pokok itu tercukup dalam lima usaha, yaitu: pokok usaha, permulaan kesibukan duniawi, yaitu : pertanian, peternakan, perburuan, perajutan dan pembangunan rumah.
Dengan kata lain al-Ghazali menekankan bahwa jika kita ingin memperoleh harta itu dinilai sebagai lading untuk akhirat ( mazra’atul akhirah ), maka harus memperhatikan beberapa syarat dan tingkatan yang harus dipenuhi adalah :
a.       Tugas pertama, mengetahui tingkatan harta, dalam hal ini al-Ghazali menguraikan harta tersebut, dimulai dari a) roh, b) badan dan c) urusan luar.
b.      Tugas kedua, dituntut untuk memperhatikan segi pemasukan-pendapatan ( income ) dan segi pengeluaran ( output ). Pada tingkat kedua hal ini, al-Ghazali memulainya dari, a) hasil usaha dan b) dari keuntungan tanpa usaha.
c.       Tugas ketiga, hendaknya mengambil harta untuk keperluan sesuai dengan kebutuhannya. Adapun kebutuhan pokok, menurut al-Ghazali adalah; pakaian, makanan dan tempat tinggal.
d.      Tugas keempat, dituntut untuk mengerti bagaimana cara mendistribusikan dan membelanjakan ( menggunakan ) harta untuk keperluannya sehari-hari.
e.       Tugas kelima, hendaklah dalam melakukan kegiatan ekonomi ( mencari penghidupan ) itu diniatkan untuk mencari ridha Allah Swt, begitu juga meninggalkannya.
2.      Macam-macam kegiatan ekonomi
a.       Kegiatan ekonomi yang diperbolehkan
1.)    Aqd al-Ba’I ( Selling Contract )
Salah satu kegiatan ekonomi yang diperbolehkan adalah jual beli, sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan Hadits bahwa jual beli itu diperbolehkan sedangkan riba yang dilarang. Bagi al-Ghazali, diperbolehkan jual beli dengan syarat ada juga tiga macam : al Aqid, al Ma’qud Alaih serta lafadz.
a.)    Rukun pertama yaitu, al-Aqid ( orang yang bertransaksi ). Setiap melakukan jual beli harus lah ada transaksi ( al-Aqd ), sedangkan orang yang melakukan transaksi ini disebut ( al-aqid ).
b.)    Rukun kedua yaitu, al-Ma’qud Alaih ( harta benda ) yang dapat dipertukarkan kepada yang lain.
c.)    Rukun ketiga yaitu, Lafadz Aqd ( penrjanjian ), atau yang disebut ijab qobul ini merupakan hal yang sangat penting, karena dalam perjanjian ini mesti harus dilakukan.
2.)    Aqd al-Salam ( contract of delivery sale ) adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan  belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh, sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai. Rukun salamnya adalah :
a.)    Penjual dan pembeli
b.)    Barang dan uang
c.)    Sighat ( ijab dan qobul )
Sedangkan syarat dalam salam adalah sbb :
a.)    Pembayaran hendaklah dilakukan terlebih dahulu, yaitu pada saat transaksi
b.)    Barangnya menjadi hutang batas penjual
c.)    Barang dapat diserahkan pada waktu janji telah sampai
d.)   Barang tersebut harus jelas
e.)    Diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya
f.)     Harus pula disebabkan tempat penyerahannya.
3.)    Aqd al-Ijarah ( sewa menyewa/upah mengupahh ), transaksi ijarah dilunasi adanya perpindahan manfaat ( hak guna ) bukan perpindahan kepemilikan. Jadi pada prinsipnya ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila jual beli objek transaksinya barang, namun pada ijarah transaksinya adalah barang dan jasa.
4.)    Aqd al-Qiradh ( equity Partnership ), yaitu kerjasama antara pemilik modal atau uang dengan pengusaha yang mempunyai keahlian, keterampilan atau tenaga dalam melaksanakan unit-unit ekonomi atau usaha. Rukun-rukun Qiradh diantaranya adalah :
a.)    Modal ( al-maal )
b.)    Nisbah keuntungan
c.)    Pekerjaan ( profesi )
5.)    Aqd al-Syirkah ( Partnership Contact ), sama halnya system mudharabah atau qiradh, syirkah dan musyarakah juga merupakan perkongsian antara orang dengan orang lain akan tetapi dalam syirkah, satu sama lain lebih memberikan kontribusi berupa kerjasama dalam hal pengolahan modal bersama untuk dibisniskan.
Sementara itu, al-Ghazali membagi perseroan uqud terbagi menjadi empat bagian, yaitu : perseroan mufawadah ( hak dan tanggung jawab sepenuhnya ), al-abdan ( tenaga keterampilan dan manajemen ), al-wujuh ( niat ba’I, sale ), jaminan ( kredit dan kontrak ) dan al-inan ( hak dan tanggung jawab terbatas ).
b.      Kegiatan ekonomi yang tidak diperbolehkan
1.)    Menimbun ( hoarding )
Menurut al-Ghazali, para ulama fiqih memandang persoalan penimbunan ( ikhtikar ) terhadap barang-barang adalah suatu perbuatan yang tercela dalam agama. Al-Ghazali mengutip ayat al-Qur’an “Barang siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara dzalim, niscaya kami rasakan kepadanya siksa yang amat pedih”. Ancaman ayat ini sangat jelas sekali ditunjukkan bagi mereka yang berbuat dzalim, termasuk di dalamnya para penimbun itu.
2.)    Mengedarkan uang palsu
Al-Ghazali menginformasikan masalah dosa pemalsuan atau mengedarkan uang dengan pencuri lebih berat pemalsuan uang, meskipun keduanya merupakan perbuatan tercela. Mengedarkan uang palsu adalah perbuatan yang tercela atau dosa yang bersambung, yaitu sejak pembuat pertama sampai kepada yang menerima, bahkan sampai kepada yang terakhir menerima uang tersebut, selama uang itu masih beredar di tengah-tengah masyarakat.  
3.)    Memuji barang secara berlebihan
Bagi al-Ghazali, pujian semacam ini dianggap menyalahi aturan agama. Menurutnya, meninggalkan pujian, jika ia menshifati barang dagangan dengan sesuatu yang tidak ada padanya maka itu dusta. Jika pembeli menerima hal itu maka itu termasuk tipuan dan kezaliman dengan keadaan ia berdusta. Meskipun pujian terhadap barang dagangan itu benar sesuai dengan mutu dan sifatnya, akan tetapi tetap saja itu merupakan perbuatan mubazir.
4.)    Menyembunyikan cacat barang
Seorang pedagang hendaklah menunjukkan semua cacat barang-barang yang diperdagangkan itu,  baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Sedikitpun  jangan sampai ditutupi kejelekannya, sebab perbuatan itu merupakan suatu penganiayaan dan dosa, karena tipuannya itu. Seperti juga menunjukkan permukaan yang baik dan menutupi kejelakan yang ada di dalamnya, maka perbuatan itu termasuk perbuatan dusta terhadap orang lain. Ada juga yang menyinari dagangannya dengan lampau, agar warna dagangannya itu tampak indah, seperti menjual kain, sepatu, dsb.  
5.)    Aqad al-Riba ( kegiatan ribawi )
Adapun konsep al-Ghazali tentang praktek riba serta bunga bank ternyata disepakati oleh ekonom muslim kontemporer. Menurutnya, terjadinya bunga bank ( riba ) adalah karena transaksi pada lembaga perbankan yang secara teknis melakukan penundaan, tanpa menanggung resiko yang jelas.
pemikiran al-Ghazali ini dapat kita simak dalam tulisan Murasa Sarkaniputra tentang riba ( bunga bank ) dalam makalahnya tentang “Mengolah lahan sebagai wujud keimanan dan syukur dalam konteks masyarakat madani”. Menurutnya, uang bagaikan ayam betina yang tidak bertelur, Karena itu bunga bank diharamkan. Begitu juga dalam kitab-kitab perjanjian lama dan perjanjian baru, dan al-Quran melarang bunga bank. 
6.)    Curang dalam menimbang dan menukar timbangan
Al-Ghazali maupun ulama yang lain dalam membicarakan masalah kecurangan dalam timbangan tidak mentolelir perbuatan yang satu ini. Bagi al-Ghazali, sebaiknya dalam menakar timbangan berlakulah adil dan berhati-hati, karena kecelakaan akan menimpa orang yang curang. Ia mengutip al-Quran surat al-Muthaffifin ayat 1-3. Al-Ghazali juga memahami bawa yang dimaksud bukan hanya secara fisik yang berbentuk timbangan, tetapi neraca dalam perbuatan.  
7.)    Menyembunyikan harga pasar
Dalam keterangannya mengenai larangan terhadap harga pasar, al-Ghazali telah menegaskan kebijaksanaan dengan cerdas, bahwa jujur dalam harga dan waktu dan tidak menyembunyikan sesuatu dari padanya. Menurut al-Ghazali, terkadang ada saudagar yang datang ke desa-desa atau mencegat orang di tengah-tengah jalan yang hendak menjual barang dagangannya ke pasar, lalu dikatakan bahwa harga pasar sekarang sangat turun dan lebih baik dijual di sini saja, padahal harga pasar lebih tinggi dari pada harga yang ditawarkan kepada petani itu.[1]
  1. Teori Moneter al-Ghazali
1.      Pengertian dan Asal Usul Uang
a.       Pengertian uang, sebelum lebih jauh membicarakan hakikat uang menurut al-Ghazali, terlebih dahulu perlu kiranya kembali kepada sumber pokok islam, yaitu al-Quran. tentang uang dan pengembangannya dalam kegiatan ekonomi  dalam pandangan al-Quran, “uang” antara lain diartikan sebagai “harta” kekayaan, dan “nilai tukar bagi sesuatu”, ia termasuk sesuatu yang sangat penting di dunia. uang juga dibuat agar memberikan sumbangan yang berarti bagi pencapaian tujuan utama sosio-ekonomi islam.
Penjelasan yang berharga dari al-Ghazali, di mana uang merupakan kebaikan yang pertengahan, yaitu dapat memberikan manfaat ( deviden ) dari satu segi dan dapat membahaykan ( madharat ) dari segi lain. Uang adalah benda mati yang tidak ada manfaat pada hakikat dirinya. Akan tetapi manusia pasti membutuhkannya agar dapat mempunyai barang-barang, mengenai makanannya, pakaiannya dan semua kebutuhan-kebutuhan lainnya.
b.      Asal usul uang, sebelum lebih lanjut membicarakan uang dalam teori al-Ghazali, kita akan mengenal lebih dulu asal-usul  atau sejarah perkembangan uang, dimulai dari system barter ( al-mufawwadah ) hingga pada penggunaan logam mulia, yaitu : emas ( al-Dzahab ) dan perak ( al-Fidzah ). Model seperti ini telah dikenal pada abad pertengahan di masa al-Ghazali, bahkan berlanjut dengan terbentuknya lembaga keuangan sebagaimana yang kita kenal sekarang.
1.)    Sistem barter
Meskipun al-Ghazali adalah seorang sufi, namun dalam pengamatannya, ia lebih memperjelas secara rinci tentang bagaimana manusia dalam melakukan kegiatan ekonominya. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia telah melakukan kegiatan bisnisnya melalui transaksi jual beli. Ia mengkui bahwa dulu perdagangan atau jual beli telah dikenal banyak orang, akan tetapi cara sederhana yang mereka pergunakan adalah dengan cara saling tukar menukarkan barang dengan barang yang dimiliki oleh orang lain. Karena saat itu mata uang tidak ada, yani tidak seperti halnya maa uang sekrang.
2.)    Uang barang
Ketokohan dan sosok al-Ghazali yang salama ini kita kenal dan dipandang sebagai tokoh spiritual ( sufi ) yang anti terhadap dunia, ternyata tidak terbukti. Hal ini dapat dilihat dengan adanya gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran al-Ghazali yang tertuang dalam teori moneter ( keuangannya ). Bahkan al-Ghazali dalam memandang dunia, selalu dikaitkan dengan aspek rohani. Sebagaimana ketika al-Ghazali menempatkan teori keuangannya dibahas dalam penjelasan Bab As-Syukur.hal ini membuktikan bahwa, ia ingin mensinergikan tata keuangan dalam kelembagaan dalam mendorong untuk selalu mencari ma’isah ( penghidupan dunia ) melalui bekerja. Dan yang lebih menarik adalah penjelasannya tentang penggunaan uang sebagai dari bukti mensyukuri nikmat Allah.  
3.)    Uang logam
Keberadaan uang logam ini memang sangat dirasakan sekali manfaatnya, sehingga Rasulullah SAW sendiri mengakui akan keberadaannya dan kemudahannya. Sebagai seorang sufi yang tajam pemahamannya, al-Ghazali melihat bahwa dengan digantikannya cara barter dengan menggunakan uang logam dalam kegiatn perekonomian akan mengantarkan berbagai kemudahan. Sebab uang logam ini termasuk alat-alat khusus yang Allah SWT menciptakan untuk kepentingan umat manusia.
2.      Fungsi Uang
Menurut al-Ghazali, ada dua fungsi uang yang membuat orang dapat mudah memanfaatkannya, serta mudah menggunakannya secara efektif, tanpa harus membawa uang ( harta miliknya ) dalam memenuhi kebutuhan untuk ditukarkan dengan milik orang lain. Kedua fungsi uang tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Allah SWT menjadikan ( mata uang ) dinar dan dirham, sebagai hakim dan dua penengah, diantara harta benda-benda yang lainnya. Sehingga dapat dipastikan harta benda ini dengan dinar dan dirham tersebut. Artinya uang merupakan alat tukar nilai tukar.
b.      Dinar dan dirham itu menjadi perantara kepada barang-barang yang lainnya. Karena keduanya adalah barang milik pada dirinya dan tidak ada maksud pada dirinya keduanya, dan perbandingan keduanya kepada harta-harta yang lain adalah suatu perbandingan.
Penjelasan al-Ghazali berkenaan dengan fungsi uang dan manfaatnya sangat berharga. Bahkan ia mengajukan agar dalam mempergunakan uang supaya dapat dipergunakan dengan baik dan benar sesuai dengan ajaran dan prinsip islam, seperti halnya yang telah diuraikan di atas, dan dua fungsi yang pertama itulah yang terpenting, yaitu sebagai satuan hitung atau penengah dan sebagai alat tukar atau wasilah.
3.      Jenis-jenis dan Nilai Uang
Sejak uang ( emas ) dipergunakan manusia, ia dibagi dalam banyak tingkatan hingga tingkatan logam mulia ( emas dan perak ), dua barang yang dititipkan Allah SWT. Pada keduanya terdapat kekhasan ( kekhususan ) dan keistimewaan alami yang tidak dititipkan pada aneka jenis tambang lain. Bagi al-Ghazali emas dan perak yang kemudian menjadi mata uang dinar dan dirham adalah merupakan suatu nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT untuk kepentingan manusia. Meskipun keduanya adalah benda mati yang tidak ada manfaat pada diri keduanya. Akan tetapi manusia akan sangat memerlukan pada keduanya, dari segi manusia membutuhkan barang-barang, makanan, pakaian dan semua kebutuhan-kebutuhannya.
Dari pada itu, al-Ghazali menganggap bahwa dalam memajukan perekonomian masyarakat masih layak untuk menggunakan uang berupa jenis logam : emas dan perak. Sebagai alat tukar menukar dan transaksi. Sebab keduanya mempunyai nilai atau harga nilai yang sama.
Dengan kata lain, nilai intrinsic dan nominal yang terdapat pada keduanya masih berharga, dan dapat menjadi nilai beli. Oleh karena itu dalam ajaran islam, emas dan perak merupakan salah satu komoditas yang wajib dizakati, jika telah mencapai satu nisab bagi yang memiliki.
4.      Klasifikasi Uang dan Standart Moneter
Dalam teori moneter, uang dapat diklasifikasikan atas beberapa dasar yang berbeda-beda, seperti misalnya:
a.       Sifat fisik dan bahan yang dipakai untuk membuat uang.
b.      Yang mengeluarkan atau mengedarkan, yakni pemerintah, bank sentral, atau bank komersial.
c.       Hubungan antara nilai uang sebagai uang dengan nilai uang sebagai barang.
Uang emas dan perak pun diakui sebagai mata uang standart dunia. Maka menjadi mudahlah proses tukar menukar dan pergaulan diantara mereka. Sebagai standart uang, emas dan perak juga diistilahkan sebagai full bodied money.
Adapun yang berhak mengeluarkan full bodied money ini adalah pemerintah, sebagai standart kembar. Inilah pelajaran berharga dari teori keuangan al-Ghazali, maka harus diakui bahwa kita secara ilmiah banyak berhutang budi kepadanya.  
5.      Riba dan Pertukaran Mata Uang
a.       Riba ( Interest )
Uang riba adalah uang yang dihasilkan dengan cara ribawi ( praktik riba ). Praktik-praktik riba dalam agama apapun adalah perbuatan tercela. Sampai orang-orang yahudi pun mengharamkannya untuk selain dari golongan mereka, sebagaimana di temukan dalam pernyataan mereka, “tidaklah berdosa bagi kami terhadap orang-orang Ummi ( orang arab ).
Sebetulnya praktik-praktik yang ingin dihindari oleh orang-orang Arab pra Islam ( jahiliyah ) sebenarnya adalah praktik riba yang bukan hanya pada uang saja, melainkan lebih dari itu. Sebab riba, mempunyai konotasi yang lebih luas dari sebuah pengembalian yang sudah pasti dari modal sebagai sebuah factor produksi. Dalam hal ini yang dikeluarkan sebagai pinjaman ( loan ), maka tidak ada yang akan mengklaim di atas yang melebihi modal.
Begitupun al-Ghazali dalam memandang riba, ia bukan hanya mengharamkan perbuatan ini, tetapi juga mengajak untuk menghindari perbuatan tersebut. Menurutya, berlakulah waspada dari unsur-unsur riba.   
b.      Pertukaran mata uang
Dalam meneliti transaksi jual beli dalam bentuk transaksi financial yang berlangsung di pasar international, maka menjadi jelaslah bahwa kegiatan-kegiatan jual beli tersebut biasanya terjadi dalam enam hal, yaitu:
1.)    Pembelian mata uang dengan mata uang yang sama atau serupa, misalnya pertukaran mata uang kertas dinar baru Irak dengan uang kertas lama.
2.)    Pertukaran mata uang dengan mata uang asing, misalnya pertukaran dolar dengan pound mesir.
3.)    Pembelian barang dengan menggunakan mata uang tertentu, serta pembelian mata uang tersebut dengan mata uang asing, misalnya pembelian pesawat dengan menggunakan dolar, serta pertukaran dolar dengan dinar Irak dalam satu kesepakatan.
4.)    Penjualan barang dengan mata uang, misalnya pertukaran pesawat dengan dolar Australia.
5.)    Penjualan promis dengan mata uang tertentu.
6.)     Penjualan saham dalam perseroan tertentu dengan mata uang tertentu.
Dari keenam hal tersebut di atas, jelas bahwa pertukaran dengan mata uang tidak bisa lagi dihindari dalam percaturan perekonomian, apalagi kalau sudah go-internasional. Bahkan zaman dahulu pun orang-orang suka tukar menukr emas dan perak antar sesame mereka.[2]
  

BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Al-Ghazali telah menjadikan uang sebagai suatu “alat guna” dan merupakan salah satu komponen penting dalam melancarkan perekonomian dari system barter ke system ekonomi keuangan. Sementara model kegiatan ekonomi yang ditawarkan al-Ghazali jelas-jelas didasarkan pada pola dan system yang telah digagas oleh parta pendahulunya, yaitu dengan pendekatan fiqih.
Al-Ghazali yang belakangan terkenal dengan sufi-sunni dan kental dengan  kezuhudannya ternyata memiliki segudang pemikiran ( ensiklopedia ). Dan ini tidak hanya pada persoalan tasawuf, teologi, filsafat dan pendidikan saja, melainkan hampir seluruh aspek ilmu pengetahuan dikuasainya bahkan dalam persoalan ekonomi, ia tidak kalah cerdasnya dengan para ekonom modern. Hanya saja pendekatan yang ia gunakan selalu mengandung unsur spiritual-teologis yang bersifat sufistik-akhlaqi-amaly. 


















[1] Abdul Aziz, Ekonomi Sufistik Model Al-Ghazali, Bandung, Alfabeta : 2011, Hlm. 85-138.
[2] Ibid.,Hlm. 52-80.

Tidak ada komentar: