Oleh : Siti Nur Roisah
Prodi : Ekonomi Syariah
PENDEKATAN EKONOMI SUFISTIK MODEL AL-GHAZALI
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Kajian
pemikiran tentang system keuangan dan usaha-usaha ( bisnis ) dalam kegiatan
perekonomian maupun teori-teori tentang itu dari para pemikir muslim dewasa
ini, baik klasik maupun modern masih sangat sedikit, bahkan hampir tidak kita
temui. Padahal para pemikir dan cendikiawan muslim klasik yang hampir di setiap
karya dan tulisannya selalu menampilkan ide-ide dan gagasan-gagasan
cemerlangnya tentang keuangan yang berkaitan dengan masalah riba,
utang-piutang, perpajakan, warisan, zakat dan sejenisnya. Dalam hal itu,
Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang biasa disebut Al-Ghazali dalam gagasan dan
ide-ide tentang ekonomi, Al-Ghazali tidak mengekor pada teori-teori ekonom
sebelumnya. Karena memang belum ada waktu itu. Ia mengungkap dan menjelaskan
hukum-hukum muamalah islam sebagaimana ulama-ulama terdahulu serta tertulis
jelas pada kitab al-kasbi dalam ihya ulumuddin, karya monumentalnya. Demikian
cikal bakal teori eko-sufistik al-Ghazali, yang suatu saat ( kini ) menjadi rujukan
bagi pengembangan ekonomi islam kontemporer.
Al-Ghazali
dalam dunia islam dikenal sebagai ulama sufi yang waktu itu hanya dikenal
dikalangan ahli Sunnah, penyebar paham asy’ariyah, dan “alergi” terhadap dunia,
di bidang keilmuan pun filsafat menjadi
sasaran kritik, sebagaimana tahafutul falasifah karyanya. Karena, ia melakukan
penyelamatan terhadap umat yang ingin mencari penghidupan dunia, dan oleh
karena itu teorinya dipandang mengandung spiritualitas-sufistik serta etika dan
hukum bisnis. Al-Ghazali mendasarkan teori moneter dan kegiatan ekonominya pada
al-Qur’an dengan semangat spiritualitas dan kesufiannya, sehingga dapat
dikatakan bahwa teori ekonomi al-Ghazali dapat dinobatkan sebagai model ekonomi
sufistik al-Ghazali.
- Rumusan Masalah
1.
Bagaimana konsep
ekonomi al-Ghazali?
2.
Bagaimana teori
moneter al-Ghazali?
- Tujuan
1. Untuk
memperoleh data yang berhubungan dengan persoalan moneter al-Ghazali, sehingga
dengan adanya data itu dapat diketahui betul atau tidaknya teori moneter
al-Ghazali sesuai dengan teori moneter modern.
2. Untuk lebih
mengetahui dan mendalami pandangan Abu Hamid al-Ghazali mengenai kegiatan
ekonomi yang dianjurkan oleh agama dan yang dilarang oleh agama, di mana dua
hal tersebut penting untuk diketahui bagi para pelaku bisnis dan dunia usaha.
BAB II
PEMBAHASAN
- Konsep Ekonomi Al-Ghazali
1.
Lima aspek
dalam kegiatan ekonomi
Secara harfiyah
( etimologis ), kata-kata “amal” dan “kasb” dalam ekopnomi islam merupakan
bentuk lain dari istilah usaha dalam peningkatan mencari rizki. Dengan
perkataan lain, kegiatan-kegiatan ekonomi adalah identic dengan amal ( bekerja
) dan kasb ( mencari ). Jadi, beramal artinya adalah setiap usaha manusia yang
bersifat badaniyah ( konkret ) dan ruhaniyah ( abstrak ) untuk memenuhio
kebutuhan materi atau yang bermanfaat. Konsepsi al-Ghazali tentang kegiatan
ekonomi, menurutnya, kegiatan ekonomi tidak lepas dari kegiatan mencari
kebutuhan hidup. Adapun kebutuhan yang ia maksudkan itu mencakup tiga hal yaitu
makanan pokok, tempat tinggal, dan pakaian. Maka kebutuhan pokok itu tercukup
dalam lima usaha, yaitu: pokok usaha, permulaan kesibukan duniawi, yaitu :
pertanian, peternakan, perburuan, perajutan dan pembangunan rumah.
Dengan kata
lain al-Ghazali menekankan bahwa jika kita ingin memperoleh harta itu dinilai
sebagai lading untuk akhirat ( mazra’atul akhirah ), maka harus memperhatikan
beberapa syarat dan tingkatan yang harus dipenuhi adalah :
a.
Tugas pertama,
mengetahui tingkatan harta, dalam hal ini al-Ghazali menguraikan harta
tersebut, dimulai dari a) roh, b) badan dan c) urusan luar.
b.
Tugas kedua,
dituntut untuk memperhatikan segi pemasukan-pendapatan ( income ) dan segi
pengeluaran ( output ). Pada tingkat kedua hal ini, al-Ghazali memulainya dari,
a) hasil usaha dan b) dari keuntungan tanpa usaha.
c.
Tugas ketiga,
hendaknya mengambil harta untuk keperluan sesuai dengan kebutuhannya. Adapun
kebutuhan pokok, menurut al-Ghazali adalah; pakaian, makanan dan tempat
tinggal.
d.
Tugas keempat,
dituntut untuk mengerti bagaimana cara mendistribusikan dan membelanjakan (
menggunakan ) harta untuk keperluannya sehari-hari.
e.
Tugas kelima, hendaklah
dalam melakukan kegiatan ekonomi ( mencari penghidupan ) itu diniatkan untuk
mencari ridha Allah Swt, begitu juga meninggalkannya.
2.
Macam-macam
kegiatan ekonomi
a.
Kegiatan
ekonomi yang diperbolehkan
1.)
Aqd al-Ba’I (
Selling Contract )
Salah satu
kegiatan ekonomi yang diperbolehkan adalah jual beli, sebagaimana telah
dijelaskan dalam al-Qur’an dan Hadits bahwa jual beli itu diperbolehkan
sedangkan riba yang dilarang. Bagi al-Ghazali, diperbolehkan jual beli dengan
syarat ada juga tiga macam : al Aqid, al Ma’qud Alaih serta lafadz.
a.)
Rukun pertama
yaitu, al-Aqid ( orang yang bertransaksi ). Setiap melakukan jual beli
harus lah ada transaksi ( al-Aqd ), sedangkan orang yang melakukan
transaksi ini disebut ( al-aqid ).
b.)
Rukun kedua
yaitu, al-Ma’qud Alaih ( harta benda ) yang dapat dipertukarkan kepada
yang lain.
c.)
Rukun ketiga
yaitu, Lafadz Aqd ( penrjanjian ), atau yang disebut ijab qobul ini
merupakan hal yang sangat penting, karena dalam perjanjian ini mesti harus
dilakukan.
2.)
Aqd al-Salam (
contract of delivery sale ) adalah transaksi jual beli di mana barang yang
diperjualbelikan belum ada. Oleh karena
itu barang diserahkan secara tangguh, sedangkan pembayaran dilakukan secara
tunai. Rukun salamnya adalah :
a.)
Penjual dan
pembeli
b.)
Barang dan uang
c.)
Sighat ( ijab
dan qobul )
Sedangkan syarat dalam salam adalah sbb :
a.)
Pembayaran
hendaklah dilakukan terlebih dahulu, yaitu pada saat transaksi
b.)
Barangnya
menjadi hutang batas penjual
c.)
Barang dapat
diserahkan pada waktu janji telah sampai
d.)
Barang tersebut
harus jelas
e.)
Diketahui dan
disebutkan sifat-sifat barangnya
f.)
Harus pula
disebabkan tempat penyerahannya.
3.)
Aqd al-Ijarah (
sewa menyewa/upah mengupahh ), transaksi ijarah dilunasi adanya perpindahan
manfaat ( hak guna ) bukan perpindahan kepemilikan. Jadi pada prinsipnya ijarah
sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek
transaksinya. Bila jual beli objek transaksinya barang, namun pada ijarah
transaksinya adalah barang dan jasa.
4.)
Aqd al-Qiradh (
equity Partnership ), yaitu kerjasama antara pemilik modal atau uang dengan
pengusaha yang mempunyai keahlian, keterampilan atau tenaga dalam melaksanakan
unit-unit ekonomi atau usaha. Rukun-rukun Qiradh diantaranya adalah :
a.)
Modal ( al-maal
)
b.)
Nisbah
keuntungan
c.)
Pekerjaan (
profesi )
5.)
Aqd al-Syirkah
( Partnership Contact ), sama halnya system mudharabah atau qiradh, syirkah dan
musyarakah juga merupakan perkongsian antara orang dengan orang lain akan
tetapi dalam syirkah, satu sama lain lebih memberikan kontribusi berupa
kerjasama dalam hal pengolahan modal bersama untuk dibisniskan.
Sementara itu,
al-Ghazali membagi perseroan uqud terbagi menjadi empat bagian, yaitu :
perseroan mufawadah ( hak dan tanggung jawab sepenuhnya ), al-abdan ( tenaga
keterampilan dan manajemen ), al-wujuh ( niat ba’I, sale ), jaminan ( kredit
dan kontrak ) dan al-inan ( hak dan tanggung jawab terbatas ).
b.
Kegiatan
ekonomi yang tidak diperbolehkan
1.)
Menimbun (
hoarding )
Menurut
al-Ghazali, para ulama fiqih memandang persoalan penimbunan ( ikhtikar )
terhadap barang-barang adalah suatu perbuatan yang tercela dalam agama.
Al-Ghazali mengutip ayat al-Qur’an “Barang siapa yang bermaksud di dalamnya
melakukan kejahatan secara dzalim, niscaya kami rasakan kepadanya siksa yang
amat pedih”. Ancaman ayat ini sangat jelas sekali ditunjukkan bagi mereka yang
berbuat dzalim, termasuk di dalamnya para penimbun itu.
2.)
Mengedarkan
uang palsu
Al-Ghazali
menginformasikan masalah dosa pemalsuan atau mengedarkan uang dengan pencuri
lebih berat pemalsuan uang, meskipun keduanya merupakan perbuatan tercela.
Mengedarkan uang palsu adalah perbuatan yang tercela atau dosa yang bersambung,
yaitu sejak pembuat pertama sampai kepada yang menerima, bahkan sampai kepada
yang terakhir menerima uang tersebut, selama uang itu masih beredar di
tengah-tengah masyarakat.
3.)
Memuji barang
secara berlebihan
Bagi
al-Ghazali, pujian semacam ini dianggap menyalahi aturan agama. Menurutnya,
meninggalkan pujian, jika ia menshifati barang dagangan dengan sesuatu yang
tidak ada padanya maka itu dusta. Jika pembeli menerima hal itu maka itu
termasuk tipuan dan kezaliman dengan keadaan ia berdusta. Meskipun pujian
terhadap barang dagangan itu benar sesuai dengan mutu dan sifatnya, akan tetapi
tetap saja itu merupakan perbuatan mubazir.
4.)
Menyembunyikan
cacat barang
Seorang
pedagang hendaklah menunjukkan semua cacat barang-barang yang diperdagangkan
itu, baik yang terlihat maupun yang
tidak terlihat. Sedikitpun jangan sampai
ditutupi kejelekannya, sebab perbuatan itu merupakan suatu penganiayaan dan
dosa, karena tipuannya itu. Seperti juga menunjukkan permukaan yang baik dan
menutupi kejelakan yang ada di dalamnya, maka perbuatan itu termasuk perbuatan
dusta terhadap orang lain. Ada juga yang menyinari dagangannya dengan lampau,
agar warna dagangannya itu tampak indah, seperti menjual kain, sepatu, dsb.
5.)
Aqad al-Riba (
kegiatan ribawi )
Adapun konsep al-Ghazali tentang praktek riba serta bunga bank
ternyata disepakati oleh ekonom muslim kontemporer. Menurutnya, terjadinya
bunga bank ( riba ) adalah karena transaksi pada lembaga perbankan yang secara
teknis melakukan penundaan, tanpa menanggung resiko yang jelas.
pemikiran
al-Ghazali ini dapat kita simak dalam tulisan Murasa Sarkaniputra tentang riba
( bunga bank ) dalam makalahnya tentang “Mengolah lahan sebagai wujud keimanan
dan syukur dalam konteks masyarakat madani”. Menurutnya, uang bagaikan ayam
betina yang tidak bertelur, Karena itu bunga bank diharamkan. Begitu juga dalam
kitab-kitab perjanjian lama dan perjanjian baru, dan al-Quran melarang bunga
bank.
6.)
Curang dalam
menimbang dan menukar timbangan
Al-Ghazali
maupun ulama yang lain dalam membicarakan masalah kecurangan dalam timbangan
tidak mentolelir perbuatan yang satu ini. Bagi al-Ghazali, sebaiknya dalam
menakar timbangan berlakulah adil dan berhati-hati, karena kecelakaan akan
menimpa orang yang curang. Ia mengutip al-Quran surat al-Muthaffifin ayat 1-3.
Al-Ghazali juga memahami bawa yang dimaksud bukan hanya secara fisik yang
berbentuk timbangan, tetapi neraca dalam perbuatan.
7.)
Menyembunyikan
harga pasar
Dalam
keterangannya mengenai larangan terhadap harga pasar, al-Ghazali telah
menegaskan kebijaksanaan dengan cerdas, bahwa jujur dalam harga dan waktu dan
tidak menyembunyikan sesuatu dari padanya. Menurut al-Ghazali, terkadang ada
saudagar yang datang ke desa-desa atau mencegat orang di tengah-tengah jalan
yang hendak menjual barang dagangannya ke pasar, lalu dikatakan bahwa harga
pasar sekarang sangat turun dan lebih baik dijual di sini saja, padahal harga
pasar lebih tinggi dari pada harga yang ditawarkan kepada petani itu.[1]
- Teori Moneter al-Ghazali
1.
Pengertian dan
Asal Usul Uang
a.
Pengertian
uang, sebelum lebih jauh membicarakan hakikat uang menurut al-Ghazali, terlebih
dahulu perlu kiranya kembali kepada sumber pokok islam, yaitu al-Quran. tentang
uang dan pengembangannya dalam kegiatan ekonomi
dalam pandangan al-Quran, “uang” antara lain diartikan sebagai “harta”
kekayaan, dan “nilai tukar bagi sesuatu”, ia termasuk sesuatu yang sangat
penting di dunia. uang juga dibuat agar memberikan sumbangan yang berarti bagi
pencapaian tujuan utama sosio-ekonomi islam.
Penjelasan yang berharga dari al-Ghazali, di mana uang merupakan
kebaikan yang pertengahan, yaitu dapat memberikan manfaat ( deviden ) dari satu
segi dan dapat membahaykan ( madharat ) dari segi lain. Uang adalah benda mati
yang tidak ada manfaat pada hakikat dirinya. Akan tetapi manusia pasti
membutuhkannya agar dapat mempunyai barang-barang, mengenai makanannya,
pakaiannya dan semua kebutuhan-kebutuhan lainnya.
b.
Asal usul uang,
sebelum lebih lanjut membicarakan uang dalam teori al-Ghazali, kita akan
mengenal lebih dulu asal-usul atau
sejarah perkembangan uang, dimulai dari system barter ( al-mufawwadah ) hingga
pada penggunaan logam mulia, yaitu : emas ( al-Dzahab ) dan perak ( al-Fidzah
). Model seperti ini telah dikenal pada abad pertengahan di masa al-Ghazali,
bahkan berlanjut dengan terbentuknya lembaga keuangan sebagaimana yang kita
kenal sekarang.
1.)
Sistem barter
Meskipun al-Ghazali adalah seorang sufi, namun dalam pengamatannya,
ia lebih memperjelas secara rinci tentang bagaimana manusia dalam melakukan
kegiatan ekonominya. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia telah melakukan
kegiatan bisnisnya melalui transaksi jual beli. Ia mengkui bahwa dulu
perdagangan atau jual beli telah dikenal banyak orang, akan tetapi cara
sederhana yang mereka pergunakan adalah dengan cara saling tukar menukarkan
barang dengan barang yang dimiliki oleh orang lain. Karena saat itu mata uang
tidak ada, yani tidak seperti halnya maa uang sekrang.
2.)
Uang barang
Ketokohan dan sosok al-Ghazali yang salama ini kita kenal dan
dipandang sebagai tokoh spiritual ( sufi ) yang anti terhadap dunia, ternyata
tidak terbukti. Hal ini dapat dilihat dengan adanya gagasan-gagasan dan
pemikiran-pemikiran al-Ghazali yang tertuang dalam teori moneter ( keuangannya
). Bahkan al-Ghazali dalam memandang dunia, selalu dikaitkan dengan aspek
rohani. Sebagaimana ketika al-Ghazali menempatkan teori keuangannya dibahas
dalam penjelasan Bab As-Syukur.hal ini membuktikan bahwa, ia ingin
mensinergikan tata keuangan dalam kelembagaan dalam mendorong untuk selalu
mencari ma’isah ( penghidupan dunia ) melalui bekerja. Dan yang lebih menarik
adalah penjelasannya tentang penggunaan uang sebagai dari bukti mensyukuri
nikmat Allah.
3.)
Uang logam
Keberadaan uang logam ini memang sangat dirasakan sekali
manfaatnya, sehingga Rasulullah SAW sendiri mengakui akan keberadaannya dan
kemudahannya. Sebagai seorang sufi yang tajam pemahamannya, al-Ghazali melihat
bahwa dengan digantikannya cara barter dengan menggunakan uang logam dalam
kegiatn perekonomian akan mengantarkan berbagai kemudahan. Sebab uang logam ini
termasuk alat-alat khusus yang Allah SWT menciptakan untuk kepentingan umat
manusia.
2.
Fungsi Uang
Menurut al-Ghazali, ada dua fungsi uang yang membuat orang dapat
mudah memanfaatkannya, serta mudah menggunakannya secara efektif, tanpa harus
membawa uang ( harta miliknya ) dalam memenuhi kebutuhan untuk ditukarkan
dengan milik orang lain. Kedua fungsi uang tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a.
Allah SWT
menjadikan ( mata uang ) dinar dan dirham, sebagai hakim dan dua penengah,
diantara harta benda-benda yang lainnya. Sehingga dapat dipastikan harta benda
ini dengan dinar dan dirham tersebut. Artinya uang merupakan alat tukar nilai
tukar.
b.
Dinar dan
dirham itu menjadi perantara kepada barang-barang yang lainnya. Karena keduanya
adalah barang milik pada dirinya dan tidak ada maksud pada dirinya keduanya,
dan perbandingan keduanya kepada harta-harta yang lain adalah suatu
perbandingan.
Penjelasan
al-Ghazali berkenaan dengan fungsi uang dan manfaatnya sangat berharga. Bahkan
ia mengajukan agar dalam mempergunakan uang supaya dapat dipergunakan dengan
baik dan benar sesuai dengan ajaran dan prinsip islam, seperti halnya yang
telah diuraikan di atas, dan dua fungsi yang pertama itulah yang terpenting,
yaitu sebagai satuan hitung atau penengah dan sebagai alat tukar atau wasilah.
3.
Jenis-jenis dan
Nilai Uang
Sejak uang ( emas ) dipergunakan manusia, ia dibagi dalam banyak
tingkatan hingga tingkatan logam mulia ( emas dan perak ), dua barang yang
dititipkan Allah SWT. Pada keduanya terdapat kekhasan ( kekhususan ) dan
keistimewaan alami yang tidak dititipkan pada aneka jenis tambang lain. Bagi
al-Ghazali emas dan perak yang kemudian menjadi mata uang dinar dan dirham
adalah merupakan suatu nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT untuk
kepentingan manusia. Meskipun keduanya adalah benda mati yang tidak ada manfaat
pada diri keduanya. Akan tetapi manusia akan sangat memerlukan pada keduanya,
dari segi manusia membutuhkan barang-barang, makanan, pakaian dan semua
kebutuhan-kebutuhannya.
Dari pada itu, al-Ghazali menganggap bahwa dalam memajukan
perekonomian masyarakat masih layak untuk menggunakan uang berupa jenis logam :
emas dan perak. Sebagai alat tukar menukar dan transaksi. Sebab keduanya
mempunyai nilai atau harga nilai yang sama.
Dengan kata lain, nilai intrinsic dan nominal yang terdapat pada
keduanya masih berharga, dan dapat menjadi nilai beli. Oleh karena itu dalam
ajaran islam, emas dan perak merupakan salah satu komoditas yang wajib
dizakati, jika telah mencapai satu nisab bagi yang memiliki.
4.
Klasifikasi
Uang dan Standart Moneter
Dalam teori moneter, uang dapat diklasifikasikan atas beberapa
dasar yang berbeda-beda, seperti misalnya:
a.
Sifat fisik dan
bahan yang dipakai untuk membuat uang.
b.
Yang
mengeluarkan atau mengedarkan, yakni pemerintah, bank sentral, atau bank
komersial.
c.
Hubungan antara
nilai uang sebagai uang dengan nilai uang sebagai barang.
Uang emas dan
perak pun diakui sebagai mata uang standart dunia. Maka menjadi mudahlah proses
tukar menukar dan pergaulan diantara mereka. Sebagai standart uang, emas dan
perak juga diistilahkan sebagai full bodied money.
Adapun yang
berhak mengeluarkan full bodied money ini adalah pemerintah, sebagai standart
kembar. Inilah pelajaran berharga dari teori keuangan al-Ghazali, maka harus
diakui bahwa kita secara ilmiah banyak berhutang budi kepadanya.
5.
Riba dan
Pertukaran Mata Uang
a.
Riba (
Interest )
Uang riba adalah uang yang dihasilkan dengan cara ribawi ( praktik
riba ). Praktik-praktik riba dalam agama apapun adalah perbuatan tercela.
Sampai orang-orang yahudi pun mengharamkannya untuk selain dari golongan
mereka, sebagaimana di temukan dalam pernyataan mereka, “tidaklah berdosa bagi
kami terhadap orang-orang Ummi ( orang arab ).
Sebetulnya praktik-praktik yang ingin dihindari oleh orang-orang
Arab pra Islam ( jahiliyah ) sebenarnya adalah praktik riba yang bukan hanya
pada uang saja, melainkan lebih dari itu. Sebab riba, mempunyai konotasi yang
lebih luas dari sebuah pengembalian yang sudah pasti dari modal sebagai sebuah
factor produksi. Dalam hal ini yang dikeluarkan sebagai pinjaman ( loan ), maka
tidak ada yang akan mengklaim di atas yang melebihi modal.
Begitupun al-Ghazali dalam memandang riba, ia bukan hanya
mengharamkan perbuatan ini, tetapi juga mengajak untuk menghindari perbuatan
tersebut. Menurutya, berlakulah waspada dari unsur-unsur riba.
b.
Pertukaran mata
uang
Dalam meneliti transaksi jual beli dalam bentuk transaksi financial
yang berlangsung di pasar international, maka menjadi jelaslah bahwa
kegiatan-kegiatan jual beli tersebut biasanya terjadi dalam enam hal, yaitu:
1.)
Pembelian mata
uang dengan mata uang yang sama atau serupa, misalnya pertukaran mata uang
kertas dinar baru Irak dengan uang kertas lama.
2.)
Pertukaran mata
uang dengan mata uang asing, misalnya pertukaran dolar dengan pound mesir.
3.)
Pembelian
barang dengan menggunakan mata uang tertentu, serta pembelian mata uang
tersebut dengan mata uang asing, misalnya pembelian pesawat dengan menggunakan
dolar, serta pertukaran dolar dengan dinar Irak dalam satu kesepakatan.
4.)
Penjualan
barang dengan mata uang, misalnya pertukaran pesawat dengan dolar Australia.
5.)
Penjualan
promis dengan mata uang tertentu.
6.)
Penjualan saham dalam perseroan tertentu
dengan mata uang tertentu.
Dari keenam hal
tersebut di atas, jelas bahwa pertukaran dengan mata uang tidak bisa lagi
dihindari dalam percaturan perekonomian, apalagi kalau sudah go-internasional.
Bahkan zaman dahulu pun orang-orang suka tukar menukr emas dan perak antar
sesame mereka.[2]
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Al-Ghazali
telah menjadikan uang sebagai suatu “alat guna” dan merupakan salah satu
komponen penting dalam melancarkan perekonomian dari system barter ke system
ekonomi keuangan. Sementara model kegiatan ekonomi yang ditawarkan al-Ghazali
jelas-jelas didasarkan pada pola dan system yang telah digagas oleh parta
pendahulunya, yaitu dengan pendekatan fiqih.
Al-Ghazali yang
belakangan terkenal dengan sufi-sunni dan kental dengan kezuhudannya ternyata memiliki segudang
pemikiran ( ensiklopedia ). Dan ini tidak hanya pada persoalan tasawuf,
teologi, filsafat dan pendidikan saja, melainkan hampir seluruh aspek ilmu
pengetahuan dikuasainya bahkan dalam persoalan ekonomi, ia tidak kalah
cerdasnya dengan para ekonom modern. Hanya saja pendekatan yang ia gunakan selalu
mengandung unsur spiritual-teologis yang bersifat sufistik-akhlaqi-amaly.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar