Oleh : Siti Nur Roisah
Prodi : Ekonomi Syariah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Terdapat tiga persyaratan dasar untuk
keabsahan jual beli. Persyaratan tersebut adalah: komoditas harus ada saat
dijual, penjual harus telah memperoleh hak kepemilikan atas komoditas tersebut
dan semua risiko terkait, serta komoditas harus ada dalam penguasaan fisik atau
konstruktif penjual. Persyaratan ini diterapkan guna menghindari kemungkinan
tyerjadinya Gharar dan perselisihan mengenai subjek. Namun, terdapat dua
pengecualian: salam dan istishna. Pengecualian tersebut didasarkan bahwa
persyaratan tersebut telah dipertimbangkan dan pemenuhan atasnya akan
membuatnya terbebas dari Gharar. Karena dalam kedua jual beli ini penyerahan
subjek ditangguhkan hingga di masa yang akan datang, keduanya dapat
diistilahkan dengan jual beli di muka. Dalam kerangka islami, pasar komoditas
ada untuk penyerahan di masa yang akan datang atas barang yang terkena hukum
salam dan istishna. Pasar berjangka modern yang bertransaksi dalam kontrak (
akad ) berjangka seperti opsi, derivatif, swap, dan sebagainya tidak masuk
dalam kualifikasi hukum tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian Salam dan Istishna
2.
Landasan Hukum Salam dan Istishna
3.
Jenis Salam dan Istishna
4.
Rukun dan Syarat Salam dan Istishna
5.
Berakhirnya Akad Salam dan Istishna
6.
Ketentuan Penyerahan Barang Salam
dan Istishna
7.
Mekanisme Pembayaran Salam dan
Istishna
8.
Menjelaskan Perbedaan Salam dan
Istishna
9.
Studi Kasus Salam dan Istishna di
Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Salam dan Istishna
Disebut salam karena pemesan barang
menyerahkan uangnya ditempat akad. Sedangkan definisi salam adalah akad pesanan
barang yang disebutkan sifat-sifatnya yang dalam majelis itu pemesan barang
menyerahkan uang seharga barang pesanan yang barang pesanan tersebut menjadi
tanggungan penerima pesanan (Sudarsono,2001). Menurut Sayyid Sabiq, salam
dinamai juga salaf (pendahuluan). Yaitu penjualan sesuatu dengan kriteria
tertentu (yang masih berada) dalam tanggungan dengan pembayaran disegerakan.[1]
PSAK 103 mendefinisikan salam sebagai akad
jual beli barang pesanan (muslam fiih) dengan pengiriman dikemudian hari
oleh penjual (muslam illiahi) dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli (al
muslam) pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu.[2]
Menurut fatwa DSN MUI, salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dan
pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.[3]
Sedangkan menurut jumhur lama fuqaha, yang
dikatakan bai’ al-istishna merupakan
suatu jenis khusus dari bai’ as-salam.
Biasanya jenis ini digunakan dibidang manufaktur. Dengan demikian ketentuan
istishna mengikuti ketentuan dan aturan salam. Produk istishna menyerupai
produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank
dalam beberapa kali (termin) pembayaran.[4]
Akad istishna adalah akad jual beli dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/mustashni) dan penjual
(pembuat/shani). Shani akan menyiapkan barang yang dipesan sesuai dengan
spesifikasi yang telah disepakati dimana ia dapat menyiapkan sendiri atau
melalui pihak lain (istishna parallel).[5]
Menurut fatwa
DSN MUI, istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).[6]
B.
Landasan Hukum Salam dan Istishna
1.
Al Qur-an
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ
أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي
عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا
فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا
يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ
فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ
إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى
أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى
أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا
بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا
تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ
فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”[7]
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”[7]
2. Fatwa MUI
Fatwa DSN No.05/DSN-MUI/IV/2000
tentang Jual Beli Salam :
a.
Bahwa jual beli barang dengan cara
pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu,
disebut dengan salam, kini telah melibatkan pihak perbankan;
b.
Bahwa agar cara tersebut dilakukan
sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang salam
untuk dijadikan pedoman oleh lembaga keuangan syari’ah.[8]
3. PSAK
PSAK 103 Tentang Akuntansi Salam :
“Entitas dapat
bertindak sebagai pembeli dan atau penjual dalam transaksi salam. Jika entitas
bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan
barang pesanan dengan cara salam, maka hal ini disebut salam parallel.”[9]
Sedangkan
landasan hukum Istishna adalah:
1.
Fatwa MUI
a.
Bahwa kebutuhan masyarakat untuk
memperoleh sesuatu, sering memerlukan pihak lain untuk membuatkannya, dan hal
seperti itu dapat dilakukan melalui jual beli istishna’ ( الاستصنا ع ), yaitu akad jual beli
dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan
penjual (pembuat, shani’)
b.
Bahwa transaksi istishna’ pada saat
ini telah dipraktekkan oleh lembaga keuangan syari’ah.
c.
Bahwa agar praktek tersebut sesuai
dengan syari’ah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang istishna’
untuk menjadi pedoman.[10]
2.
PSAK 104
“Berdasarkan
akad istishna pembeli menugaskan penjual untuk menyediakan barang pesanan
(mashnu) sesuai spesifikasi yang disyaratkan untuk diserahkan kepada pembeli,
dengan cara pembayaran dimuka atau tangguh.”[11]
C.
Jenis Salam dan Istishna
Jenis-jenis salam adalah:
1.
Salam adalah tansaksi jual beli
dimana barang yang diperjualbelikan belum ada ketika transaksi dilakukan,
pembeli melakukan pembayaran dimuka sedangkan penyerahan barang baru dilakukan
dikemudian hari.[12]
2.
Salam Parallel adalah melaksanakan
dua transaksi salam yaitu antara pemesan pembeli dan penjual serta antara
penjual dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya.
Sedangkan jenis-jenis istishna adalah:
1.
Istishna, adalah akad jual beli
dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual.[13]
2.
Istishna parallel, adalah suatu
bentuk akad istishna antara pemesan dengan penjual, kemudian untuk memenuhi
kewajiban kepada pemesan penjual memerlukan pihak lain sebagai pembuat/pemasok.[14]
D.
Rukun Salam dan Istishna
Rukun salam ada tiga :
1.
Pelaku, terdiri dari penjual dan
pembeli
2.
Objek akad berupa barang yang akan
diserahkan dan modal salam
3.
Ijab qabul atau serah terima
Syarat salam :
1.
Pelaku adalah cakap hokum dan
baligh.
2.
Objek akad :
a.
Ketentuan terkait modal salam harus
diketahui jenis dan jumlahnya, berbentuk tunai dan diserahkan ketika akad
berlangsung.
b.
Ketentuan barang salam
harusmempunyai spesifikasi yang jelas, dapat ditakar, waktu dan tempat
penyerahan harus ditentukan dan barang harus ada pada saat waktu yang telah
ditentukan.
3.
Ijab Qabul atau serah terima yang
dilakukan secara verbal, tertulis atau melalui cara-cara komunikasi modern.[15]
Rukun istishna
ada tiga :
1.
Pelaku terdiri dari pemesan
(pembeli/mustashni) dan penjual (pembuat/shani)
2.
Objek akad berupa barang yang akan
diserahkan dan modal istishna yang berbentuk harga.
3.
Ijab Kabul atau serah terima.
Sedangkan syarat istishna adalah:
1.
Pelaku adalah cakap hokum dan
baligh.
2.
Objek akad :
a.
Ketentuan terkait modal salam harus
diketahui jenis dan jumlahnya, berbentuk tunai dan diserahkan ketika akad
berlangsung.
b.
Ketentuan barang salam
harusmempunyai spesifikasi yang jelas, dapat ditakar, waktu dan tempat
penyerahan harus ditentukan dan barang harus ada pada saat waktu yang telah
ditentukan.
3.
Ijab Qabul atau serah terima yang
dilakukan secara verbal, tertulis atau melalui cara-cara komunikasi modern.[16]
E.
Berakhirnya Akad Salam dan Istishna
Berakhirnya akad salam ketika:
1.
Barang yang dipesan tidak ada pada
waktu yang ditentukan.
2.
Barang yang dikirim cacat atau
tidak sesuai dengan yang disepakati dalam akad.
3.
Barang yang dikirim kualitasnya
lebih rendah, dan pembeli memilih untuk menolak atau membatalkan akad.
4.
Barang yang dikirim kualitasnya
tidak sesuai akad tetapi pembeli menerimanya
5.
Barang diterima
Sedangkan berakhirnya akad istishna berdasarkan
kondisi-kondisi berikut:
1. Dipenuhinya kewajiban
secara normal oleh kedua belah pihak.
2. Persetujuan bersama
kedua belah pihak untuk menghentikan kontrak.
3. Pembatalan hukum
kontrak. Ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah dilaksanakannya
kontrak atau penyelesaiannya, dan masing-masing pihak bisa menuntut
pembatalanya.[17]
F.
Ketentuan Penyerahan Barang Salam
dan Istishna
Ketentuan penyerahan barang berkaitan dengan
salam
1.
Penjual harus menyerahkan barang
tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
2.
Jika penjual menyerahkan barang
dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
3.
Jika penjual menyerahkan barang
dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak
boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
4.
Penjual dapat menyerahkan barang
lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang
sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
5.
Jika semua atau sebagian barang
tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli
tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
- membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,
- menunggu sampai barang tersedia.[18]
Ketentuan penyerahan barang berkaitan dengan
istishna:
1.
Dalam hal pesanan sudah dikerjakan
sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat
2.
Semua ketentuan dalam jual beli
salam yang tidak disebutkan diatas berlaku pula pada jual beli isthisna
3.
Jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah
pihak , maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrasi syariah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.[19]
G.
Mekanisme Pembayaran Salam dan
Istishna
Ketentuan tentang
pembayaran salam :
1.
Alat bayar
harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang atau manfaat.
2.
Pembayaran
harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
3.
Pembayaran
tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Ketentuan tentang
pembayaran istishna
1.
Alat bayar
harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau
mamfaat, demikian juga dengan cara pembayarannya.
2.
Harga yang telah ditetapkan dalam akad tidak
boleh berubah. Akan tetapi apabila setelah akad ditandatangani pembeli mengubah
spesifikasi dalam akad maka penambahan biaya akibat perubahan ini menjadi
tanggung jawab pembeli.
3.
Pembayaran
dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
4.
Pembayaran
tidak boleh berupa pembebasan utang.
H.
Menjelaskan Perbedaan Salam dan
Istishna
Istishna
|
Salam
|
Subjek istishna selalu berupa barang yang
harus dimanufaktur.
|
Subjek salam dapat berupa produk alamiyah
atau barang manufaktur.
|
Harga dalam istishna tidak harus dibayarkan secara
penuh di muka.
|
Harga harus dibayarkan secara penuh di muka.
|
Istishna terutama dapat dilakukan untuk
barang Qimi, di mana setiap unit barangnya berbeda antara yang satu dan yang
lain dalam hal harga / spesifikasi. Akan tetapi, ia dapat pula digunakan
untuk barang yang memiliki merek dagang, di mana semua unit barang serupa
dalam harga dan spesifikasi.
|
Subjek salam adalah kewajiban
pada pihak penjual dan karenannya harus berupa barang fungibel, yang semua
unitnya serupa, sehingga jika penjual tidak dapat memproduksi sendiri
barangnya, ia bisa mendapatkan dari pasar.
|
Sanksi dalam bentuk pengurangan harga karena
keterlambatan dalam penyerahan akan tercermin dalam pendapatan pembeli.
|
Sanksi untuk keterlambatan dalam
penyerahan akan disumbangkan untuk sosial dan akun keuntungan dan kerugian
pembeli ( bank ) tidak akan terpengaruh.
|
Selama pekerjaannya belum dimulai, istishna
tidak bersifat mengikat, pihak manapun dapat membatalkan kontrak ( akad ).
|
Salam adalah kontrak ( akad )
yang mengikat, ketika dilaksanakan, tidak dapat dibatalkan tanpa kesepakatan
pihak lain.[20]
|
I.
Studi Kasus Salam dan Istishna di
Indonesia
Dalam perbankan syariah, berdasarka Fatwa
Dewan Syariah Nasional No: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli salam, akad
salam diaplikasikan pada salam paralel untuk pembiayaan pertanian dalam jangka
waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan.
Contoh pembiayaan salam paralel:
Seorang petani yang memiliki sawah seluas 2 ha
mengajukan pembiayaan kepada bank syariah untuk membiayai pertaniannya sebanyak
Rp5.000.000. penghasilan yang biasa diperoleh dari lahan pertanian tersebut
sebanyak 4 ton beras. Pada waktu itu harga beras di pasarRp4.000 per Kg,
pembiayaan tersebut disetujui oleh bank, dalam arti bsank bertindak sebagai
pemesan beras dsan nasaba sebagai produsen dalam jangka waktu 4 bulan. Kemudian,
beras ini akan dijual bank kepada suplier (
pembeli kedua ) ysng telah direkomendasikan oleh nasabah dengan margin
20%. Bagaimana cara perhitungannya?
Model yang diterapkan dalam jual beli salam
adalah:
Harga Jual: Modal + Magin
Untuk mendapatkan margin dicari
dengan rumus:
Margin: Modal x Margin x Tahun
Jumlah pembiayaan yang diajukan adalah
Rp.5.000.000. harga beras di pasar Rp.4.000 per Kg. Ini berarti bank bisa
memesan beras pada petani sebanyak 1 ton 250Kg beras ( Rp5.000.000 bagi Rp4.000
). Tepat pada musim panen ( pada bulan ke-4 ), bank menjual beras kepada suplier
( pembeli kedua ) seharga Rp5.000 per Kg. Suplier membayar kepada nasabah
secara tunai atau cicilan dengan harga jual:
Harga jual = Rp.5.000.000 + (Rp.5.000.000 x 20%)
=
Rp.5.000.000 + Rp.1.000.000
=
Rp.6.000.000
Maka pendapatan yang akan diperoleh
bank adalah: Rp.6.000.000[21]
Sedangkan aplikasi istishna pada perbankan
syariah sbb:
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No:
06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna, istishna di perbankan syariah
diterapkan pada pembiayaan istishna paralel. Dalam kontrak istishna, pembeli
bisa saja mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan
kontrak tersebut. Berikut ini akan diuraikan contoh kasus yang diterapkan pada
perbankan syariah:
CV. A yang bergerak dalam bidang pembuatan dan
penjualan pakaian seragam sekolah memperoleh order untuk membuat pakaian
seragam sekolah senilai Rp.60.000.000, dan mengajukan permodalan pada perbankan
syariah. Harga perpasang pakaian yang diajukan adalah Rp.85.000 dan pembayaran
diangsur selama tiga bulan. Harga per pasang pakaian di pasaran sekitar
Rp.90.000. CV. A memberikan keuntungan Rp.5.000 per pasang atau keuntungan
keseluruhan adalah Rp.3.529.412 yang diperoleh dari hitungan:
Rp.60.000.000 : Rp.85.000 x
Rp.5.000 = Rp.3.529.412
Berdasarkan statistik perbankan syariah
November 2014, saat ini total pembiayaan dengan akad istishna mencapai Rp 618 M
atau 1% dari total pembiayaan 198,376 T.[22]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Disebut salam
karena pemesan barang menyerahkan uangnya ditempat akad. Sedangkan akad
istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan
(pembeli/mustashni) dan penjual (pembuat/shani). Terdapat dua jenis dalam bai
salam yaitu salam dan salam paralel, begitu juga dengan bai istishna terdapat
dua jenis yaitu istishna dan istishna paralel. Pembayaran dalam akad istishna harus dilakukan pada saat kontrak disepakati, sedangkan pembayaran dalam
akad istishna dilakukan sesuai dengan kesepakatan. Perbedaan salam dengan
istishna yaitu terdapat pada, subjek istishna selalu berupa
barang yang harus dimanufaktur sedangkan subjek salam dapat berupa produk
alamiyah atau barang manufaktur dan Selama pekerjaannya belum dimulai, istishna
tidak bersifat mengikat, pihak manapun dapat membatalkan kontrak ( akad )
sedangkan Salam adalah kontrak ( akad ) yang mengikat, ketika dilaksanakan,
tidak dapat dibatalkan tanpa kesepakatan pihak lain.
[1]
Rifqi Muhammad,
Akuntansi Keuangan Syariah : Konsep dan
Implementasi PSAK Syariah, Yogyakarta : P3EI Press, 2010, Hlm. 177.
[2] Kautsar Riza
Salman, Akuntansi Perbankan Syariah ;
Berbasis PSAK Syariah, Jakarta : Akademia Permata, 2014, Hlm. 173.
[5] Sri Nurhayati
& Wasilah, Akuntansi Syariah Di
Indonesia, Jakarta : Salemba Empat, 2015, Hlm. 216.
[17]
Wiroso,”PSAK-104-Akuntansi
istishna”, 2011
[20]Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance A-Z Keuangan Syariah,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007, Hlm. 418.
[21]
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2016, Hlm. 97-99.