Minggu, 14 Mei 2017

SALAM DAN ISTISHNA

Studi Ekonomi - SALAM DAN ISTISHNA
Oleh : Siti Nur Roisah
Prodi : Ekonomi Syariah 




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Terdapat tiga persyaratan dasar untuk keabsahan jual beli. Persyaratan tersebut adalah: komoditas harus ada saat dijual, penjual harus telah memperoleh hak kepemilikan atas komoditas tersebut dan semua risiko terkait, serta komoditas harus ada dalam penguasaan fisik atau konstruktif penjual. Persyaratan ini diterapkan guna menghindari kemungkinan tyerjadinya Gharar dan perselisihan mengenai subjek. Namun, terdapat dua pengecualian: salam dan istishna. Pengecualian tersebut didasarkan bahwa persyaratan tersebut telah dipertimbangkan dan pemenuhan atasnya akan membuatnya terbebas dari Gharar. Karena dalam kedua jual beli ini penyerahan subjek ditangguhkan hingga di masa yang akan datang, keduanya dapat diistilahkan dengan jual beli di muka. Dalam kerangka islami, pasar komoditas ada untuk penyerahan di masa yang akan datang atas barang yang terkena hukum salam dan istishna. Pasar berjangka modern yang bertransaksi dalam kontrak ( akad ) berjangka seperti opsi, derivatif, swap, dan sebagainya tidak masuk dalam kualifikasi hukum tersebut.
B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian Salam dan Istishna
2.      Landasan Hukum Salam dan Istishna
3.      Jenis Salam dan Istishna
4.      Rukun dan Syarat Salam dan Istishna
5.      Berakhirnya Akad Salam dan Istishna
6.      Ketentuan Penyerahan Barang Salam dan Istishna
7.      Mekanisme Pembayaran Salam dan Istishna
8.      Menjelaskan Perbedaan Salam dan Istishna
9.      Studi Kasus Salam dan Istishna di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Salam dan Istishna
Disebut salam karena pemesan barang menyerahkan uangnya ditempat akad. Sedangkan definisi salam adalah akad pesanan barang yang disebutkan sifat-sifatnya yang dalam majelis itu pemesan barang menyerahkan uang seharga barang pesanan yang barang pesanan tersebut menjadi tanggungan penerima pesanan (Sudarsono,2001). Menurut Sayyid Sabiq, salam dinamai juga salaf (pendahuluan). Yaitu penjualan sesuatu dengan kriteria tertentu (yang masih berada) dalam tanggungan dengan pembayaran disegerakan.[1]
PSAK 103 mendefinisikan salam sebagai akad jual beli barang pesanan (muslam fiih) dengan pengiriman dikemudian hari oleh penjual (muslam illiahi) dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli (al muslam) pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu.[2]
Menurut fatwa DSN MUI, salam adalah  jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.[3]
Sedangkan menurut jumhur lama fuqaha, yang dikatakan bai’ al-istishna merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya jenis ini digunakan dibidang manufaktur. Dengan demikian ketentuan istishna mengikuti ketentuan dan aturan salam. Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran.[4]
Akad istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/mustashni) dan penjual (pembuat/shani). Shani akan menyiapkan barang yang dipesan sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati dimana ia dapat menyiapkan sendiri atau melalui pihak lain (istishna parallel).[5]
Menurut fatwa DSN MUI, istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).[6]
B.     Landasan Hukum Salam dan Istishna
1.      Al Qur-an
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”[7]
2.      Fatwa MUI
Fatwa DSN No.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam :
a.         Bahwa jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu, disebut dengan salam, kini telah melibatkan pihak perbankan;
b.        Bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang salam untuk dijadikan pedoman oleh lembaga keuangan syari’ah.[8]
3.      PSAK
PSAK 103 Tentang Akuntansi Salam :
“Entitas dapat bertindak sebagai pembeli dan atau penjual dalam transaksi salam. Jika entitas bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam, maka hal ini disebut salam parallel.”[9]
Sedangkan landasan hukum Istishna adalah:
1.         Fatwa MUI
a.    Bahwa kebutuhan masyarakat untuk memperoleh sesuatu, sering memerlukan pihak lain untuk membuatkannya, dan hal seperti itu dapat dilakukan melalui jual beli istishna’ ( الاستصنا ع ), yaitu akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’)
b.    Bahwa transaksi istishna’ pada saat ini telah dipraktekkan oleh lembaga keuangan syari’ah.
c.    Bahwa agar praktek tersebut sesuai dengan syari’ah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang istishna’ untuk menjadi pedoman.[10]

2.         PSAK 104
“Berdasarkan akad istishna pembeli menugaskan penjual untuk menyediakan barang pesanan (mashnu) sesuai spesifikasi yang disyaratkan untuk diserahkan kepada pembeli, dengan cara pembayaran dimuka atau tangguh.”[11]
C.    Jenis Salam dan Istishna
Jenis-jenis salam adalah:
1.      Salam adalah tansaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada ketika transaksi dilakukan, pembeli melakukan pembayaran dimuka sedangkan penyerahan barang baru dilakukan dikemudian hari.[12]
2.      Salam Parallel adalah melaksanakan dua transaksi salam yaitu antara pemesan pembeli dan penjual serta antara penjual dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya.
Sedangkan jenis-jenis istishna adalah:
1.      Istishna, adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual.[13]
2.      Istishna parallel, adalah suatu bentuk akad istishna antara pemesan dengan penjual, kemudian untuk memenuhi kewajiban kepada pemesan penjual memerlukan pihak lain sebagai pembuat/pemasok.[14]
D.    Rukun Salam dan Istishna
Rukun salam ada tiga :
1.         Pelaku, terdiri dari penjual dan pembeli
2.         Objek akad berupa barang yang akan diserahkan dan modal salam
3.         Ijab qabul atau serah terima
Syarat salam :
1.         Pelaku adalah cakap hokum dan baligh.
2.         Objek akad :
a.       Ketentuan terkait modal salam harus diketahui jenis dan jumlahnya, berbentuk tunai dan diserahkan ketika akad berlangsung.
b.      Ketentuan barang salam harusmempunyai spesifikasi yang jelas, dapat ditakar, waktu dan tempat penyerahan harus ditentukan dan barang harus ada pada saat waktu yang telah ditentukan.
3.         Ijab Qabul atau serah terima yang dilakukan secara verbal, tertulis atau melalui cara-cara komunikasi modern.[15]
Rukun istishna ada tiga :
1.         Pelaku terdiri dari pemesan (pembeli/mustashni) dan penjual (pembuat/shani)
2.         Objek akad berupa barang yang akan diserahkan dan modal istishna yang berbentuk harga.
3.         Ijab Kabul atau serah terima.
Sedangkan syarat istishna adalah:
1.         Pelaku adalah cakap hokum dan baligh.
2.         Objek akad :
a.       Ketentuan terkait modal salam harus diketahui jenis dan jumlahnya, berbentuk tunai dan diserahkan ketika akad berlangsung.
b.      Ketentuan barang salam harusmempunyai spesifikasi yang jelas, dapat ditakar, waktu dan tempat penyerahan harus ditentukan dan barang harus ada pada saat waktu yang telah ditentukan.
3.         Ijab Qabul atau serah terima yang dilakukan secara verbal, tertulis atau melalui cara-cara komunikasi modern.[16]
E.     Berakhirnya Akad Salam dan Istishna
Berakhirnya akad salam ketika:
1.         Barang yang dipesan tidak ada pada waktu yang ditentukan.
2.         Barang yang dikirim cacat atau tidak sesuai dengan yang disepakati dalam akad.
3.         Barang yang dikirim kualitasnya lebih rendah, dan pembeli memilih untuk menolak atau membatalkan akad.
4.         Barang yang dikirim kualitasnya tidak sesuai akad tetapi pembeli menerimanya
5.         Barang diterima
Sedangkan berakhirnya akad istishna berdasarkan kondisi-kondisi berikut:
1.    Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak.
2.    Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kontrak.
3.    Pembatalan hukum kontrak. Ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan masing-masing pihak bisa menuntut pembatalanya.[17]
F.     Ketentuan Penyerahan Barang Salam dan Istishna
Ketentuan penyerahan barang berkaitan dengan salam
1.         Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
2.         Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
3.         Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
4.         Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
5.         Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
    1. membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,
    2. menunggu sampai barang tersedia.[18]
Ketentuan penyerahan barang berkaitan dengan istishna:
1.         Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat
2.         Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan diatas berlaku pula pada jual beli isthisna
3.         Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak , maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrasi syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.[19]
G.    Mekanisme Pembayaran Salam dan Istishna
Ketentuan tentang pembayaran salam :
1.         Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang atau manfaat.
2.         Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
3.         Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Ketentuan tentang pembayaran istishna
1.         Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa  uang, barang, atau mamfaat, demikian juga dengan cara pembayarannya.
2.          Harga yang telah ditetapkan dalam akad tidak boleh berubah. Akan tetapi apabila setelah akad ditandatangani pembeli mengubah spesifikasi dalam akad maka penambahan biaya akibat perubahan ini menjadi tanggung  jawab pembeli.
3.         Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
4.         Pembayaran tidak boleh berupa pembebasan utang.
H.    Menjelaskan Perbedaan Salam dan Istishna
Istishna
Salam
Subjek istishna selalu berupa barang yang harus dimanufaktur.
Subjek salam dapat berupa produk alamiyah atau barang manufaktur.
Harga dalam istishna tidak harus dibayarkan secara penuh di muka.
Harga harus dibayarkan secara penuh di muka.
Istishna terutama dapat dilakukan untuk barang Qimi, di mana setiap unit barangnya berbeda antara yang satu dan yang lain dalam hal harga / spesifikasi. Akan tetapi, ia dapat pula digunakan untuk barang yang memiliki merek dagang, di mana semua unit barang serupa dalam harga dan spesifikasi.
Subjek salam adalah kewajiban pada pihak penjual dan karenannya harus berupa barang fungibel, yang semua unitnya serupa, sehingga jika penjual tidak dapat memproduksi sendiri barangnya, ia bisa mendapatkan dari pasar.
Sanksi dalam bentuk pengurangan harga karena keterlambatan dalam penyerahan akan tercermin dalam pendapatan pembeli.
Sanksi untuk keterlambatan dalam penyerahan akan disumbangkan untuk sosial dan akun keuntungan dan kerugian pembeli ( bank ) tidak akan terpengaruh.
Selama pekerjaannya belum dimulai, istishna tidak bersifat mengikat, pihak manapun dapat membatalkan kontrak ( akad ).
Salam adalah kontrak ( akad ) yang mengikat, ketika dilaksanakan, tidak dapat dibatalkan tanpa kesepakatan pihak lain.[20]

I.       Studi Kasus Salam dan Istishna di Indonesia
Dalam perbankan syariah, berdasarka Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli salam, akad salam diaplikasikan pada salam paralel untuk pembiayaan pertanian dalam jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan.
Contoh pembiayaan salam paralel:
Seorang petani yang memiliki sawah seluas 2 ha mengajukan pembiayaan kepada bank syariah untuk membiayai pertaniannya sebanyak Rp5.000.000. penghasilan yang biasa diperoleh dari lahan pertanian tersebut sebanyak 4 ton beras. Pada waktu itu harga beras di pasarRp4.000 per Kg, pembiayaan tersebut disetujui oleh bank, dalam arti bsank bertindak sebagai pemesan beras dsan nasaba sebagai produsen dalam jangka waktu 4 bulan. Kemudian, beras ini akan dijual bank kepada suplier (  pembeli kedua ) ysng telah direkomendasikan oleh nasabah dengan margin 20%. Bagaimana cara perhitungannya?
Model yang diterapkan dalam jual beli salam adalah:
Harga Jual: Modal + Magin
Untuk mendapatkan margin dicari dengan rumus:
Margin: Modal x Margin x Tahun
Jumlah pembiayaan yang diajukan adalah Rp.5.000.000. harga beras di pasar Rp.4.000 per Kg. Ini berarti bank bisa memesan beras pada petani sebanyak 1 ton 250Kg beras ( Rp5.000.000 bagi Rp4.000 ). Tepat pada musim panen ( pada bulan ke-4 ), bank menjual beras kepada suplier ( pembeli kedua ) seharga Rp5.000 per Kg. Suplier membayar kepada nasabah secara tunai atau cicilan dengan harga jual:
Harga jual        = Rp.5.000.000 + (Rp.5.000.000 x 20%)
                                    = Rp.5.000.000 + Rp.1.000.000
                                    = Rp.6.000.000
Maka pendapatan yang akan diperoleh bank adalah: Rp.6.000.000[21]
Sedangkan aplikasi istishna pada perbankan syariah sbb:
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna, istishna di perbankan syariah diterapkan pada pembiayaan istishna paralel. Dalam kontrak istishna, pembeli bisa saja mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Berikut ini akan diuraikan contoh kasus yang diterapkan pada perbankan syariah:
CV. A yang bergerak dalam bidang pembuatan dan penjualan pakaian seragam sekolah memperoleh order untuk membuat pakaian seragam sekolah senilai Rp.60.000.000, dan mengajukan permodalan pada perbankan syariah. Harga perpasang pakaian yang diajukan adalah Rp.85.000 dan pembayaran diangsur selama tiga bulan. Harga per pasang pakaian di pasaran sekitar Rp.90.000. CV. A memberikan keuntungan Rp.5.000 per pasang atau keuntungan keseluruhan adalah Rp.3.529.412 yang diperoleh dari hitungan:
Rp.60.000.000 : Rp.85.000 x Rp.5.000 = Rp.3.529.412
Berdasarkan statistik perbankan syariah November 2014, saat ini total pembiayaan dengan akad istishna mencapai Rp 618 M atau 1% dari total pembiayaan 198,376 T.[22]        


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Disebut salam karena pemesan barang menyerahkan uangnya ditempat akad. Sedangkan akad istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/mustashni) dan penjual (pembuat/shani). Terdapat dua jenis dalam bai salam yaitu salam dan salam paralel, begitu juga dengan bai istishna terdapat dua jenis yaitu istishna dan istishna paralel. Pembayaran dalam akad istishna harus dilakukan pada saat kontrak disepakati, sedangkan pembayaran dalam akad istishna dilakukan sesuai dengan kesepakatan. Perbedaan salam dengan istishna yaitu terdapat pada, subjek istishna selalu berupa barang yang harus dimanufaktur sedangkan subjek salam dapat berupa produk alamiyah atau barang manufaktur dan Selama pekerjaannya belum dimulai, istishna tidak bersifat mengikat, pihak manapun dapat membatalkan kontrak ( akad ) sedangkan Salam adalah kontrak ( akad ) yang mengikat, ketika dilaksanakan, tidak dapat dibatalkan tanpa kesepakatan pihak lain.







[1] Rifqi Muhammad, Akuntansi Keuangan Syariah : Konsep dan Implementasi PSAK Syariah, Yogyakarta : P3EI Press, 2010, Hlm. 177.
[2] Kautsar Riza Salman, Akuntansi Perbankan Syariah ; Berbasis PSAK Syariah, Jakarta : Akademia Permata, 2014, Hlm. 173.
[3] Fatwa DSN-MUI, No.05/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Salam.
[4] Rifqi Muhammad, Yogyakarta : P3EI Press, 2010, Hlm. 201.
[5] Sri Nurhayati & Wasilah, Akuntansi Syariah Di Indonesia, Jakarta : Salemba Empat, 2015, Hlm. 216.
[6] Fatwa DSN-MUI, No.06/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Istishna.
[7] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia, 2012, Hlm. 126.
[8] Fatwa DSN-MUI, No.05/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Salam.
[9] PSAK 103.
[10] Fatwa DSN-MUI, No.06/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Istishna.
[11] PSAK 104.
[12] Kautsar Riza Salman, Jakarta : Akademia Permata, 2014, Hlm. 173.
[13] PSAK 104.
[14] PSAK 104.
[15]Kautsar Riza Salman, Jakarta : Akademia Permata, 2014, Hlm. 176.
[16]Sri Nurhayati & Wasilah, Jakarta : Salemba Empat, 2015, Hlm. 219.
[17] Wiroso,”PSAK-104-Akuntansi istishna”, 2011
[18] Fatwa DSN-MUI, No.05/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Salam.
[19] Fatwa DSN-MUI, No.06/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Istishna.
[20]Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance A-Z Keuangan Syariah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007, Hlm. 418.
[21] Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016, Hlm. 97-99.
[22] Ibid., Hlm. 106-108.